Suasana pagi itu tampak tak begitu biasanya. Matahari tak kelihatan sedari tadi, padahal jam telah menunjukkan pukul 10.00. Awan kelabu kehitam-hitaman bergelayut enggan untuk pergi mengundang rinai hujan yang jatuh abadi sejak semalam. Di sebuah ruang tamu pada rumah berlantai dua itu, Ahmad duduk di depan Aisha, calon istrinya, wajahnya berat menanggung beban pikirannya, raut kesedihan sangat terlihat tapi berusaha ia tahan-tahan.
"Kapan berangkatnya?"
akhirnya suara serak Aisha yang hampir-hampir tak terdengar memecah senyap, matanya melukis bulir mutiara bening yang perlahan jatuh, ia menangis meski tak bersuara. Mukanya terus saja menunduk sedari tadi.
"Dua hari lagi"
tercekat Ahmad menjawab berat. Tak mampu Ia melihat ke arah Aisha. Ia tahu Akhwat yang sudah lama Ia kagumi itu sedang menangis. Aisha, memang akhwat yang sering meneteskan air mata, tapi itu bukan bentuk kelemahan imannya, air mata itu berasal dari kelembutan hatinya.
"Kalau begitu, nikahilah aku besok"
Ahmad dan ayah Aisha yang sedari tadi diam tersentak mendengar jawaban Aisha. Ahmad tergagap, entah harus bagaimana ia menjawabnya.
"De, kaka akan pergi ke negara perang dan tidak akan tahu bagaimana kedepannya"
Ahmad berusaha menjelaskan. Bukannya ia menolak, tidak, tidak sama sekali. Tapi ia harus melihat realita akan kejadian terburuk yang nanti terjadi. Palestina, Ahmad akan pergi ke sana. Kerinduannya untuk membela agama Tuhan-nya dan rasa cinta kepada saudara seimannya membuat ia harus siap membatalkan pernikahannya dengan Aisha -akhwat cantik keturunan Palembang China- yang akan berlangsung bulan depan.
"Iya kaka, Aisha tau, tapi izinkan Aisha tetap menjadi istri mu kak. Izinkan Isha menjadi istri seorang mujahid."
Aisha menatap Ahmad, bibirnya mantap mengatakan itu sambil tersenyum.
Ahmad terdiam, ia menatap Ayah Aisha, matanya menunjukkan sekali bahwa Ia membutuhkan pendapat calon mertuanya itu. Dengan tersenyum Ayah Aisha mengangguk isyarat setuju dengan permintaan Aisha.
Dengan hati berdebar tak karuan, Ahmad pun menyetujuinya.
Keesokan harinya, ba'da ashar, akad nikah pun dilaksanakan di masjid ma'had kepunyaan Ayah Aisha dengan mahar surat Ar-Rahman. Acara tampak begitu khidmat. Selesai akad, Ahmad diminta mengisi kajian untuk para santri.
Malam ini adalah malam yang paling bahagia sekaligus malam yang paling mendebarkan untuk Ahmad. Bahagia karena Ia telah menjadi seorang suami dan mendebarkan karena besok Ia harus meninggalkan istrinya untuk pergi berjihad. Ia pandangi istrinya lekat-lekat, hatinya tak berhenti bertasbih, sungguh benar-benar mempesona. Malam pun terus melarut bersama bulan dan bintang yang ikut bertasbih mengagungkan kebesaran-Nya.
Ahmad telah siap berangkat menuju bandara. Kijang berwarna hitam itu yang akan mengantarkannya ke bandara. Sebelum berangkat ia menemui istrinya. Ia lihat mata Aisha memerah, tapi lengkungan bibirnya tetap berusaha untuk tersenyum.
"Hati-hati di sana ya ka" ucapnya disela-sela segukan tangisnya.
aah, tak kuasa aku melihatnya menangis, ya Allah lindungi istriku.
Ku peluk dia, dadaku menghangat basah oleh air matanya.
"De, kenapa menangis? Tidak relakah kaka pergi?" tanyaku perlahan seraya mencium keningnya.
"Tidak kaka, demi Allah bukan karena itu. Isha menangis untuk suami Isha, tapi yakinlah hati Isha tersenyum untuk pangeran mujahid isha."
Ahmad tersenyum mendengar ucapan istrinya. Ia peluk istrinya semakin erat. Ada rasa bangga yang menyelinap dalam hatinya. Iyaa, siapa yang tidak bangga mempunyai istri sholehah seperti Aisha.
***
Sudah 2 jam sejak kepergian Ahmad ke bandara. Perjalanan konstan jam dinding di kamar Aisha mengarah ke angka 12.00. Detakan jam bernada sama terdengar jelas, pertanda kamar itu senyap tanpa suara. Aisha perlahan bangun dari tempat tidurnya menuju kamar mandi, panggilan Sang Pencipta telah terdengar menggema dari pengeras suara milik masjid ma'had. Dia sengaja tidak ikut mengantar suaminya, kepalanya tiba-tiba pusing dan suaminya menyuruh ia untuk istirahat saja di rumah.
Selesai shalat, tiba-tiba perasaannya tak enak. Bayang suaminya terus mengintai pikirannya. Ada perasaan rindu dan ingin bertemu yang tiba-tiba merayap masuk ke relung hatinya.
Allah, lindungi suamiku, lirihnya dalam segukan diam. Dia segera beristighfar.
Setelah melipat mukenanya, ia kemudian mengambil al-Qur'an terjemah lalu mulai membacanya di tempat tidur.
Belum habis 1 lembar al-Qur'an ia baca. Ibunya memanggil dari luar dengan nada tak beraturan, pintu kamar pun di ketuk dengan keras.
Ada apa? Tak biasanya ibu seperti itu, hatinya membatin. Dia kemudian membuka pintu. Air mata yang menganak sungai di mata ibunya langsung menyentak hatinya, ada kejadian yang tidak mengenakan telah terjadi, bisik hatinya.
Ekspresi wajahnya tetap berusaha untuk tenang walau hati telah kembang kempis tak karuan.
"Ibu, tenanglah. Istighfar."
Ibu Aisha, menarik napas panjang. Aisha menghapus sisa air mata ibunya. Kesedihan tampak jelas di raut muka yang mulai rapuh dimakan usia walaupun begitu sisa-sisa kecantikan masih terpancar dibalik hijab hitam yang menghiasi kepalanya.
"Ada apa ibu?" tanya Aisha seraya tersenyum. Suaranya lembut, memberi ketenangan bagi yang mendengarnya. Tapi itu tak berlaku bagi ibunya. Hati wanita setengah baya itu semakin sakit teriris mendengar pertanyaan anak semata wayangnya itu.
"Sayang, ibu baru dapat kabar kalo mobil suamimu kecelakaan" suaranya tercekat, tak mampu lagi ibu itu melanjutkan ucapannya. Air muka Aisha seketika berubah, Innalillahi wainnailaihi rojiun.
"Bagaimana keadaan suami Isha, Bu?" suaranya lemah tercekik tangis yang hampir pecah.
Ibu itu diam tapi tangannya menyodorkan secarik kertas bertuliskan sebuah alamat rumah sakit ternama di Palembang. Tak banyak menunggu lagi, Aisha segera pergi ke rumah sakit yang tertera di kertas itu. Tubuhnya bergetar ketika sampai di sebuah ruangan berwarna putih. Di depannya terbaring sosok orang yang paling dicintainya. Tangan kanannya kaku tertusuk jarum yang terhubung dengan selang plastik berisi cairan bening yang terus menetes dari botol plastik yang tergantung terbalik pada sebuah besi di dekat tempat tidurnya.
Aisha mengamati suaminya yang diam tak bergerak. Ketika melihat kaki kanan suaminya, dia shock. Serasa bumi berhenti berputar dan jarum jam tak lagi bergerak. Aisha tak henti beristighfar. Air matanya jatuh tanpa mampu ia tahan.
"Kaki kanan suami anda terjepit di jok mobil, sehingga mau tidak mau harus diamputasi" penjelasan dokter itu membuat hati Aisha merintih perih. Allahu Akbar, kuatkan aku dan suamiku, desahnya berat.
***
Seminggu setelah kecelakaan itu, Ahmad akhirnya sadarkan diri dan mulai bisa berbicara.
"De..." suaranya pelan memanggil Aisha.
"Alhamdulillah, kaka sudah sadar." senyum merekah Aisha tampak jika dia sangat bahagia. Diciumnya kening suaminya dengan lembut.
"De, kaka nggak bisa jadi seorang mujahid" pelan tapi begitu menusuk hati Aisha.
Allahu Akbar, sungguh begitu cintanya kepada-Mu membuat ku terenyuh biru. Begitu indah Engkau selipkan cinta di hatinya, hingga pertama yang ia pikirkan adalah jihad. Sungguh bangga aku menjadi istri mu kak, batin Aisha mengharu.
"Sungguh niat kaka telah mengantarkan kaka menjadi seorang pangeran mujahid Allah, Ka"
"Kaka sekarang tak sempurna De"
"Kaka, hati kaka yang sempurna yang membuat Isha semakin mencintai kaka karena Allah" senyum Aisha begitu cantik, lebih cantik dari sebelumnya karena cantiknya terpancar dari iman yang terhujam kuat di hatinya.
Subhanallah, langit dan bumi bertasbih menyaksikan keindahan cinta yang tercipta diantara makhluk-Nya.
Pada hari kiamat nanti, Allah akan menaungi hamba2-Nya yang saling mencintai karena-Nya.
Subhanallah, itulah janji Allah.
Maka nikmat Tuhan mu yang mana lagikah yang engkau dustakan?
**TAMAT**
"Kapan berangkatnya?"
akhirnya suara serak Aisha yang hampir-hampir tak terdengar memecah senyap, matanya melukis bulir mutiara bening yang perlahan jatuh, ia menangis meski tak bersuara. Mukanya terus saja menunduk sedari tadi.
"Dua hari lagi"
tercekat Ahmad menjawab berat. Tak mampu Ia melihat ke arah Aisha. Ia tahu Akhwat yang sudah lama Ia kagumi itu sedang menangis. Aisha, memang akhwat yang sering meneteskan air mata, tapi itu bukan bentuk kelemahan imannya, air mata itu berasal dari kelembutan hatinya.
"Kalau begitu, nikahilah aku besok"
Ahmad dan ayah Aisha yang sedari tadi diam tersentak mendengar jawaban Aisha. Ahmad tergagap, entah harus bagaimana ia menjawabnya.
"De, kaka akan pergi ke negara perang dan tidak akan tahu bagaimana kedepannya"
Ahmad berusaha menjelaskan. Bukannya ia menolak, tidak, tidak sama sekali. Tapi ia harus melihat realita akan kejadian terburuk yang nanti terjadi. Palestina, Ahmad akan pergi ke sana. Kerinduannya untuk membela agama Tuhan-nya dan rasa cinta kepada saudara seimannya membuat ia harus siap membatalkan pernikahannya dengan Aisha -akhwat cantik keturunan Palembang China- yang akan berlangsung bulan depan.
"Iya kaka, Aisha tau, tapi izinkan Aisha tetap menjadi istri mu kak. Izinkan Isha menjadi istri seorang mujahid."
Aisha menatap Ahmad, bibirnya mantap mengatakan itu sambil tersenyum.
Ahmad terdiam, ia menatap Ayah Aisha, matanya menunjukkan sekali bahwa Ia membutuhkan pendapat calon mertuanya itu. Dengan tersenyum Ayah Aisha mengangguk isyarat setuju dengan permintaan Aisha.
Dengan hati berdebar tak karuan, Ahmad pun menyetujuinya.
Keesokan harinya, ba'da ashar, akad nikah pun dilaksanakan di masjid ma'had kepunyaan Ayah Aisha dengan mahar surat Ar-Rahman. Acara tampak begitu khidmat. Selesai akad, Ahmad diminta mengisi kajian untuk para santri.
Malam ini adalah malam yang paling bahagia sekaligus malam yang paling mendebarkan untuk Ahmad. Bahagia karena Ia telah menjadi seorang suami dan mendebarkan karena besok Ia harus meninggalkan istrinya untuk pergi berjihad. Ia pandangi istrinya lekat-lekat, hatinya tak berhenti bertasbih, sungguh benar-benar mempesona. Malam pun terus melarut bersama bulan dan bintang yang ikut bertasbih mengagungkan kebesaran-Nya.
Ahmad telah siap berangkat menuju bandara. Kijang berwarna hitam itu yang akan mengantarkannya ke bandara. Sebelum berangkat ia menemui istrinya. Ia lihat mata Aisha memerah, tapi lengkungan bibirnya tetap berusaha untuk tersenyum.
"Hati-hati di sana ya ka" ucapnya disela-sela segukan tangisnya.
aah, tak kuasa aku melihatnya menangis, ya Allah lindungi istriku.
Ku peluk dia, dadaku menghangat basah oleh air matanya.
"De, kenapa menangis? Tidak relakah kaka pergi?" tanyaku perlahan seraya mencium keningnya.
"Tidak kaka, demi Allah bukan karena itu. Isha menangis untuk suami Isha, tapi yakinlah hati Isha tersenyum untuk pangeran mujahid isha."
Ahmad tersenyum mendengar ucapan istrinya. Ia peluk istrinya semakin erat. Ada rasa bangga yang menyelinap dalam hatinya. Iyaa, siapa yang tidak bangga mempunyai istri sholehah seperti Aisha.
***
Sudah 2 jam sejak kepergian Ahmad ke bandara. Perjalanan konstan jam dinding di kamar Aisha mengarah ke angka 12.00. Detakan jam bernada sama terdengar jelas, pertanda kamar itu senyap tanpa suara. Aisha perlahan bangun dari tempat tidurnya menuju kamar mandi, panggilan Sang Pencipta telah terdengar menggema dari pengeras suara milik masjid ma'had. Dia sengaja tidak ikut mengantar suaminya, kepalanya tiba-tiba pusing dan suaminya menyuruh ia untuk istirahat saja di rumah.
Selesai shalat, tiba-tiba perasaannya tak enak. Bayang suaminya terus mengintai pikirannya. Ada perasaan rindu dan ingin bertemu yang tiba-tiba merayap masuk ke relung hatinya.
Allah, lindungi suamiku, lirihnya dalam segukan diam. Dia segera beristighfar.
Setelah melipat mukenanya, ia kemudian mengambil al-Qur'an terjemah lalu mulai membacanya di tempat tidur.
Belum habis 1 lembar al-Qur'an ia baca. Ibunya memanggil dari luar dengan nada tak beraturan, pintu kamar pun di ketuk dengan keras.
Ada apa? Tak biasanya ibu seperti itu, hatinya membatin. Dia kemudian membuka pintu. Air mata yang menganak sungai di mata ibunya langsung menyentak hatinya, ada kejadian yang tidak mengenakan telah terjadi, bisik hatinya.
Ekspresi wajahnya tetap berusaha untuk tenang walau hati telah kembang kempis tak karuan.
"Ibu, tenanglah. Istighfar."
Ibu Aisha, menarik napas panjang. Aisha menghapus sisa air mata ibunya. Kesedihan tampak jelas di raut muka yang mulai rapuh dimakan usia walaupun begitu sisa-sisa kecantikan masih terpancar dibalik hijab hitam yang menghiasi kepalanya.
"Ada apa ibu?" tanya Aisha seraya tersenyum. Suaranya lembut, memberi ketenangan bagi yang mendengarnya. Tapi itu tak berlaku bagi ibunya. Hati wanita setengah baya itu semakin sakit teriris mendengar pertanyaan anak semata wayangnya itu.
"Sayang, ibu baru dapat kabar kalo mobil suamimu kecelakaan" suaranya tercekat, tak mampu lagi ibu itu melanjutkan ucapannya. Air muka Aisha seketika berubah, Innalillahi wainnailaihi rojiun.
"Bagaimana keadaan suami Isha, Bu?" suaranya lemah tercekik tangis yang hampir pecah.
Ibu itu diam tapi tangannya menyodorkan secarik kertas bertuliskan sebuah alamat rumah sakit ternama di Palembang. Tak banyak menunggu lagi, Aisha segera pergi ke rumah sakit yang tertera di kertas itu. Tubuhnya bergetar ketika sampai di sebuah ruangan berwarna putih. Di depannya terbaring sosok orang yang paling dicintainya. Tangan kanannya kaku tertusuk jarum yang terhubung dengan selang plastik berisi cairan bening yang terus menetes dari botol plastik yang tergantung terbalik pada sebuah besi di dekat tempat tidurnya.
Aisha mengamati suaminya yang diam tak bergerak. Ketika melihat kaki kanan suaminya, dia shock. Serasa bumi berhenti berputar dan jarum jam tak lagi bergerak. Aisha tak henti beristighfar. Air matanya jatuh tanpa mampu ia tahan.
"Kaki kanan suami anda terjepit di jok mobil, sehingga mau tidak mau harus diamputasi" penjelasan dokter itu membuat hati Aisha merintih perih. Allahu Akbar, kuatkan aku dan suamiku, desahnya berat.
***
Seminggu setelah kecelakaan itu, Ahmad akhirnya sadarkan diri dan mulai bisa berbicara.
"De..." suaranya pelan memanggil Aisha.
"Alhamdulillah, kaka sudah sadar." senyum merekah Aisha tampak jika dia sangat bahagia. Diciumnya kening suaminya dengan lembut.
"De, kaka nggak bisa jadi seorang mujahid" pelan tapi begitu menusuk hati Aisha.
Allahu Akbar, sungguh begitu cintanya kepada-Mu membuat ku terenyuh biru. Begitu indah Engkau selipkan cinta di hatinya, hingga pertama yang ia pikirkan adalah jihad. Sungguh bangga aku menjadi istri mu kak, batin Aisha mengharu.
"Sungguh niat kaka telah mengantarkan kaka menjadi seorang pangeran mujahid Allah, Ka"
"Kaka sekarang tak sempurna De"
"Kaka, hati kaka yang sempurna yang membuat Isha semakin mencintai kaka karena Allah" senyum Aisha begitu cantik, lebih cantik dari sebelumnya karena cantiknya terpancar dari iman yang terhujam kuat di hatinya.
Subhanallah, langit dan bumi bertasbih menyaksikan keindahan cinta yang tercipta diantara makhluk-Nya.
Pada hari kiamat nanti, Allah akan menaungi hamba2-Nya yang saling mencintai karena-Nya.
Subhanallah, itulah janji Allah.
Maka nikmat Tuhan mu yang mana lagikah yang engkau dustakan?
**TAMAT**
Komentar
Posting Komentar