Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2011

Sepucuk Rindu untuk Ramadhan-Mu

Tak terasa dua puluh hari telah berlalu. Sangat cepat. Aku seperti ketinggalan kereta mengajar pesonamu. Kau seperti seorang putri yang diperebutkan berjuta pangeran tampan. Walaupun tetap tidak adil aku mengibaratkanmu seperti itu. Maafkan aku, karena aku tak mampu lagi mengibaratkan selain itu. Kau begitu indah. Begitu sempurna. Di saat kau datang, pintu-pintu neraka tertutup dan pintu-pintu syurga dibuka. Pahala menjadi berlipat ganda. Pengampunan tersebar luas. Mampukah aku beremu denganmu tahun depan? Itulah yang aku pikirkan ketika akan, sedang, dan telah bertemu denganmu. Kini, di sepuluh terakhirmu, kau tampak semakin indah. Apa karena pesona seribu bulan di satu malammu  yang kini masih misteri? Kau tahu? Semua orang sedang mengincarmu. Aah, kau pasti tahu itu. Ramadhan. Aku merindukanmu. Dan kan selalu merindukanmu.

Rindu Cinta

Tuhan, entah mengapa hatiku kini berdetak lebih dari biasanya. Getarannya halus namun tampak begitu nyata. Beresonansi menciptakan rasa indah dalam hati. Alunannya bersimponi dalam nyanyian damai khas rindu. Tuhan, apakah aku jatuh cinta? Jatuh cinta pada sosok yang bahkan tak berwujud dalam khayal. Entah siapa, tapi aku merasa dia begitu dekat. Dia semakin mendekat. Dia. Dia. Dia. Sosok imajiner dalam imajinasiku. Dalam nyata ataupun terlelap. Dia. Dia. Dia. Sosok yang ku harap menjadi imam dalam hidupku. Dia. Dia. Dia. Bersamanya untuk mencintai-Mu. Tuhan, apakah benar aku sedang jauh cinta? Atau mungkin aku hanya sedang merindukan cinta? Merindukan sosok yang nanti akan aku nyatakan cinta. Keduanya tak dapat ku bedakan. Semuanya sama. Atau mungkin hanya terlihat sama.   Tuhan, jika benar aku sedang jatuh cinta. Biarkanlah cintaku bermuara kepada-Mu. Karena bagiku, tak ada cinta selain bersandar kepada cinta-Mu. Cinta, yang dengannya aku semakin mencintai-Mu. Cinta bersyar

Cinta Sebatas Coklat, Oh God!

Coklat. Pernah melihat coklat? *pertanyaan bodoh* hehe. Ya tentu saja! Rasanya sangat sulit menemukan manusia yang tak mengenal coklat. Tua muda. Laki-laki perempuan. Semua mengenal coklat. Rasa manisnya yang khas dengan warna yang serupa dengan namanya. Coklat. Dari sekedar buah yang pahit, coklat telah bermetamorfosa menjadi pelbagai makanan yang menggoda selera. Mulai dari permen hingga menjadi si hitam manis, brownis. Cinta. Aah sungguh indah padanan huruf yang merangkainya. Terlebih makna yang terkandung di dalamnya. Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah pun berkata tentang cinta. Beliau mengungkapkan bahwa cinta merupakan suatu perasaan yang disusul dengan kehendak dan kecenderungan. Kecenderungan untuk mengungkapkan cinta itu sendiri. Cinta untuk menunjukkan cinta. Namun sayang, sayang sayang sribu kali sayaaaang *hehe, intermezo* cara mengekspresikannya yang kadang salah melangkah. What’s wrong? Para pemuja cinta yang kebanyakan para remaja, sering sekali  kebablasan  

Sebait Do'a Untuk Tuhan-ku

Allah, Engkau tahu bahasa diamku. Engkau mengerti semua inginku. Engkau mendengar segala keluhku. Namun, ku tahu rencana-Mu di atas rencanaku. Takdirku berada dalam genggaman-Mu. Tak akan mampu sedikitpun kuasaku mengalahkan-Mu. Allah, Dari segudang rasa inginku, aku memohon pada-Mu. Dari segunung  keluhku, aku mengadu pada-Mu. Bukan untuk memaksa-Mu mengubah jalan hidupku. Aku memohon dengan rasa hina untuk kebaikan takdirku. Allah, Bila takdirku akan melewati batas tidak sukaku. Maka tambahkanlah kesabaranku. Kuatkan hatiku dengan sentuhan Arrahman-Mu. Hapus airmataku dengan bisikan syurga-Mu. Masukkan aku dalam golongan hamba-Mu yang mendapat salam kehormatan dari para malaikat karena kesabaranku. Gantilah yang hilang dariku dengan yang lebih baik menurut-Mu. Dan bila takdir membawaku pada rasa bahagiaku. Jangan lalaikan aku untuk bersyukur kepada-Mu. Jangan jadikan aku makhluk yang kufur kepada-Mu Masukkan aku dalam golongan hamba-Mu yang mendapatkan berlip

Apakah Engkau Masih Mencintaiku?

Apakah Engkau masih mencintaiku? Pertanyaan itu selalu melayang-layang dipikiranku. Berada di posisi paling menakutkan dalam otakku. Terekan dalam long-term memory . Menghantui seperti hantu. Melumpuhkan sendi. Menimbulkan was-was dalam hati. Saat Engkau memberiku musibah. Apakah Engkau masih mencintaiku? Apakah ini sebagai pertanda Engkau mencintaiku? Kekasih-Mu telah mengatakan, ketika Engkau mencintai seorang hamba, Engkau akan mengujinya? Dan a ku percaya. Karena itu aku berharap. Aku adalah bagian dari hamba-hamba yang Engkau uji sebagai pernyataan atas cinta-Mu.   Namun, benarkah aku akan menjadi bagian dari hamba-hamba yang beruntung itu? Bila melihat aku. Bercermin dari kepribadianku. Berkaca dari pengabdianku. Aaah, rasanya tak mungkin. S iapalah aku? Aku, h anyalah seorang hamba yang penuh ingkar dan dosa. M ustahil seorang sepertiku   mendapatkan cinta-Mu. Walaupun aku ingin. Meskipun aku sangat berharap. Engkau. Ataukah Engkau tengah marah kepadaku? Dan tengah mengh

Antara Aku dan Cita-citamu

Ukhti, dua hari lagi ana akan kembali ke ma’had. Pesan singkat itu terkirim ke ponsel ku tepat setelah aku selesai sholat isya. Nama seorang ikhwan terpampang di atas pesan itu. Dari dia. Teman satu kajian ku. Aku mengeryitkan dahi. Untuk apa dia sampai memberitahukan hal yang tak penting menurut ku. ”Iya, semoga di sana berkah, amiin.” Ku balas pesan itu. Singkat, tak berembel-embel. Setelah itu ku letakkan HP di atas ranjang, bersebelahan dengan tempat duduk ku. Ku ambil buku yang tadi sempat terputus membacanya karena jeda sholat. Buku bercover ungu kebiruan dengan judul buku berjenis huruf comic sans MS. Dalam waktu singkat, aku telah kembali berlayar menyusuri kata per kata yang membuai dalam buku itu. Kisah Cinta Ali Kepada Fatimah. Jalan mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti Ali. Ia mempersilahkan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian. Bagi para pecinta

Cukup Ar-Rahman mu menjadi Mahar ku

Mengapa harus Ar-Rahman? Pikiran Ahmad melalang buana mencari kira-kira jawabannya. Ar-Rahman adalah syarat hapalan yang harus ia penuhi bila hendak melamar Aisha, seorang gadis anak salah satu ustad di desa ujung ibu kota. Itu permintaan Aisha. Begitu Ustad Amir, ayah Aisha, menerangkan. Bila memang Nak Ahmad berkenan, kini giliran ibu Aisha yang angkat bicara, datanglah lagi ke sini dua minggu lagi untuk menyetor hapalannya. Namun bila Nak Ahmad tidak datang kesini pada hari yang sudah ditentukan, maka kami anggap Nak Ahmad tidak menerimanya syarat itu. Ahmad hanya tersenyum gamang mendengar permintaan yang aneh menurutnya itu. Ada-ada saja keluarga ini. Gerutunya dalam hati. Setelah mengiyakan, ia pamit pulang. Rasanya tak betah lama-lama dalam suasana yang kaku seperti itu. Ahmad masih berpikir sambil menyetir mobilnya. Kendaraan roda empat berwarna silver itu melaju dengan kecepatan sedang. Menerobos rintik-rintik hujan yang kian menderas. Membawanya kembali ke gemerlapnya ibu ko