Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2010

Cinta dan Nafsu

Cinta itu adalah cahaya. Penerang hati yang dulu gulita. Penunjuk jalan yang tadi buta. Penyemangat jiwa yang lalu hampa. Cinta itu adalah tempaan. Mengubah hitam menjadi putih. Mengubah pasir menjadi kilauan mutiara. Mengubah sendu menjadi suka cita. Cinta itu adalah anugerah. Berasal dari Maha Pecinta dengan segala cinta. Menembus lorong waktu dan rasa. Menyembul penuh merona dalam degup penuh irama. Tapi sebenar-benarnya cinta itu adalah ujian Menguji cinta seorang hamba kepada Tuhan-nya. Ujian dari dua pilihan. Mencintai-Nya atau mencintai-nya? Aku tahu, dalam hati azzam kuat tentu memilih-Nya. Namun, adakah amal menuju kepada-Nya atau kepada-nya? Aah Hati, kau pun tahu, cintaku kepada-nya karena-Nya. Tak pelak lagilah karena akhlak dan agama-nya. Duhai Nafsu, sungguh cinta mu menyesatkan. Kau balut kebusukan atas dasar cinta karena-Nya. Kau bertopeng akhlak dan agama, menjerumuskan cinta yang suci dari-Nya. Pantas jika ku sebut dirimu pengecut yang bers

Untuk Istriku Tersayang

istri sholehah Istriku. Saat akad telah ku ucap, resmilah kau jadi milik ku. Keegoisan aku dan kamu akan melebur menjadi kita. Tabir rahasia ku dan rahasia mu lenyaplah sudah. Kurang ku akan kau tutup dengan lebih mu. Begitu aku dengan mu. Ketidaksempurnaan ku akan sempurna dengan adanya kau bersama ku. Tapi istriku, sebagaimana kapal yang berlayar di laut lepas. Tak selamanya angin membawa berita persahabatan. Ombak pun menerjang tak pernah mengucap salam. Sebagai nahkodanya, aku tentu tak akan sanggup mengendalikan kapal seorang diri. Ku butuh engkau walau hanya sekedar mengelap peluh. Ku butuh kita agar mampu menghadapi badai bersama. Istriku, Tatkala aku sakit, sesungguhnya engkaulah obat yang Allah kirim untuk ku. Ketika aku lelah, sebenarnya engkau tempat istirahatku. Saat aku terjatuh, sejujurnya engkaulah pembangkit semangat ku. Di mata mu ada ketenangan dari peliknya kehidupan. Di senyuman mu terdapat penawar dari racun ketakutan. Pada sentuhan mu ada

Menanti "mu"

Sebagaimana kegagalan awal dari kesuksesan. Tangisan pun adalah awal dari kebahagiaan. Melepaskan cinta, untuk menggenggam cinta baru yang lebih baik di mata Tuhan. Percaya, akan tiba saatnya kuncup bunga cinta akan mekar menghiasi gaun hati bersemat indah sebuah nama. dia yang terlahir mempesona yang pandangannya menyejukkan mata. Walau entah kapan dan dengan siapa. Cukuplah sekarang hanya Dia yang Tahu. Tugas ku hanya menantinya, Menanti dia yang telah Dia janjikan dalam kitab kehidupan. Menanti dengan berbingkai solehah agar menjadi sebaik-baik harta untuknya. Dalam sabar dan harap, dalam keluh dan mengadu. Tugas ku hanyalah setia, walau burung camar tak berhenti menggoda. Karena aku percaya, aku ada sebab dia telah tercipta. Tuhan… Tuhan… Tuhan… Rintihan hati ku memanggil-Mu. ku yakin Kau tahu bahasa diam ku. Biduk rindu yang menggebu, ku titipkan kepada-Mu. Di akhir pengharapan, jaga dia untuk ku.

Allah, Jaga Ayahku

"Hallo, assalamu'alaikum" suara indah di seberang sana mengucapkan salam. Aku berjingkrak senang. Setelah beberapa kali telponku tak di angkat baik dari HP ayah atau pun ibu, akhirnya terhubung juga. "Wa'alaikumussalam" jawabku lega. "Apa kabar bu?" "Baik, alhamdulillah" "Ayah gimana kabarnya?" tanyaku lagi seakan tak memberi kesempatan ibuku bertanya balik. "Alhamdulillah baik juga. Ayah sedang siap-siap mau kondangan tuu" jawab ibu. "Oo, alhamdulillah" balasku lega. iyaa, aku tahu sepupu jauhku memang sedang menikah hari ini. "Masak apa bu hari ini?" "Rendang" "Waah, pengeeeen" teriakku manja. "Hehe, Iyaa, ntar kalo pulang ibu masakin" "Hehe.. Asyik" hampir begitulah obrolanku tiap di telpon, tak jauh-jauh dari makanan. Tapi, telpon ku kali ini agak berbeda. Mimpiku 2 malam terakhir ini membuat hatiku tak tenang, mimpi ayahku sakit dan tak bisa

Ayah

Ku pandangi raut letih itu.. Senyum hambar mu menenangkan ku.. Entah kekuatan apa yang ada pada wajah mu.. Hingga menarik simpati ku untuk memperhatikan mu.. Ayah, begitu lah ku memanggil mu.. Tarikan berat napas mu begitu jelas terdengar pertanda dirimu tak segagah dulu.. Tapi, kedua tangan mu tak pernah lelah mengais karunia-Nya demi aku tanggung jawab mu.. Sampai ketika terlihat mata mu sembab. "tak tidurkah ayah semalam?" Anakku, mata sembab ini akan berbalas saat melihatmu dapat hidup layak dan mendapat pendidikan tinggi. Hanya itu jawaban mu yang telak mengena di hatiku. Anakku, jangan dirimu seperti ayah yang fakir ilmu. Raih lah cita, ayah mendukung mu walau harus bermandi darah. Karena tak ada yang ayah bisa harapkan kecuali melihat diri mu bahagia.. Itu lah sekelumit kisah yang ia toreh menghujam dalam nadi ku.. Ya Allah.. Hiks :'( Ayah, rindu aku memeluk tubuh ringkih mu.. Yang selalu berjuang menghidupi ku. Yang tak pernah lelah berdoa untuk k

Sadarlah Duhai MAkhluk Bernama Manusia

Dia hanya menggertak. Belum semarah Krakatau di masa lampau. Namun manusia telah luluh-lantak dibuatnya. Merapi, satu makhluk diantara ribuan milyar makhluk-Nya. Namun mampu membuat manusia tak berdaya dibuatnya. Air laut Mentawai menggeliat. Pesisir habis terkikis. Walau tak sehebat geliat saudaranya di negeri serambi mekah Namun tetap, manusia luluh-lantak dibuatnya. Tsunami, hanya riak kecil makhluk-Nya. Namun kembali manusia tanpa daya dibuatnya. Manusia, adakah kau mau memahaminya? Engkau hanyalah makhluk LEMAH tanpa daya. Namun kesombonganmu di atas takdirmu sebagai manusia. Berjalan mu membusungkan dada. Engkau lupa, bahwa engkau hanya makhluk hina yang akan kembali ke tanah. Sadarlah. Cukup sudah alam menunjukkan kebencian terhadap arogan mu. Cukup sudah alam muak dengan sikap mu. Saatnya kembali. Tugas mu hanya mengabdi bukan malah semakin menjadi-jadi. Ingat asal mu, ingat tempat kembali mu.

Bunda

Hanya bukit-bukit kesabaran yang berusaha ku daki. Hanya bukit, karena kesabaran ku tak setinggi gunung yang kokoh menjulang. Tertatih berusaha menerjemahkan takdir. Inikah jalannya? Atau hanya sekedar pelengkap sandiwara dari Sang Sutradara langit? Meski jenuh menggerayang. Walau hati kelu membayang. Himpunan syaraf otak ku melepuh. Benarkah serumit ini? Aku takut berkamuflase dengan angan yang meyesakkan. Namun menyendiri di sini tak mampu membuat ku lebih baik. Apa yang aku pikirkan. Apa yang aku inginkan. Bagai melihat fatamorgana di panasnya padang sahara. Aarghhh,,, Inikah ujian untuk mendapatkan predikat kedewasaan? Aku ingin pulang. Memeluk Ratu Hati, mengadukan segala keluh di sini. Bunda, aku rindu T.T

Sahabat

Diri mu bak bilangan khayal yang tiada namun terasa ada. Ada mu membentuk bilangan menjadi kompleks. Dari awal jumpa tak terencana. Menyambung makna menjadi kian berbinar. Sahabat, Tujuh merangkai kata yang aku sendiri pesimis tentangnya. Tapi, waktu mampu menjadi saksi bahwa diri mu sahabatku. Kita telah memilih takdir yang sama. Berlayar pada biduk ukhuwah di lautan yang sama. Walau jarak membentang tak kira, tetap arti sahabat tak lekang. Apa yang aku pikirkan tentang mu, lebih dari sebuah tulisan yang mungkin tak bermakna. Entah, walau sekarang terlihat berbeda. Namun ku tahu, Saat aku tak melihat mu di hadapan ku. Engkau bukan pergi, namun engkau ada di belakang ku untuk memberi dorongan kepada ku. Terima kasih telah menjadi sahabat ku. Satu pinta ku, tetaplah jadi sahabat. Tersenyum bersama, membuat memori indah yang akan memprasasti dalam hati. Walau kadang, aku terlihat menyebalkan bagi mu. Karena sahabat akan tetap ada untuk ku dan untuk mu. Hehehe,

Menunggu

Ingin ku bercerita tentang kisah yang aku sendiri pun tak tahu berujung kemana. Melewati lorong-lorong waktu yang semakin sempit. Semakin sempit dibatasi kematian. Bersama angin yang masih setia, meski terkadang tersapu panas bumi. Dan ditemani mendung yang menunggu hujan, meski tak tahu kapan kan datang. Aku menunggu. Entah akan berapa lama, aku tetap menunggu. Menunggu kepastian skenario indah yang Tuhan tulis untuk ku. Percaya janjiku, aku menunggu mu. Walau aku tak pernah tahu untuk siapa aku menunggu. Sebab bukan aku yang memilih mu, tapi Dia-lah yang akan memilihkan mu untuk ku. Dan aku percaya, Dia pula yang akan menjaga setia mu, menjaga hati mu hingga nanti kau hadir disini untuk ku.

Ibu, Izinkan Aku Berjilbab

Plaaak… Tangan ibu keras menampar meja makan. Aku tertunduk. Aku tahu ibu sedang marah besar kepadaku. ”Ibu sudah bilang, ibu tak suka kamu pakai jilbab. Masih saja keras kepala. Mau jadi anak durhaka kamu?” Beliau mempertegas kata-katanya. Aku diam, menjawab sama saja memancing emosi Ibu semakin tinggi. Ibu beranjak dari duduknya, mungkin suasana ruang makan itu seperti sauna yang panas, panas oleh amarah. Setelah ibu menghilang di balik dinding, aku menarik napas berat. Harus berapa lama lagi aku menunggu hati ibu luluh? Aku sudah sangat rindu memakainya. Hati ku gerimis, mata ku kembali basah. Ini kali kedua aku meminta izin untuk mengenakan jilbab. Seperti yang pertama, jawaban Ibu tetap sama, tidak setuju. Aku tahu mengapa Ibu berkeras tidak mengizinkan ku. Jilbab itu kuno, pakaian ibu-ibu, begitu alasanya. Sedangkan ibu menginginkan ku tampil modis dan trendi. Aku perlahan masuk ke kamar ku, sekilas ku lihat ibu telah tertidur di kamarnya. Ibu, aku sangat sayang pada mu.