Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2010

MOS and D’School !!!

Ini tentang kisah ku enam tahun silam. Dimana masa-masa aku masih imut dahulu (walaupun sekarang masih tetap imut haha). SMA. Terdampar di Masa Orientasi Siswa, MOS. Hari pertama, hari yang seharusnya digunakan untuk “cari muka” pada kakak tingkat dengan mencitrakan segudang kebaikan, harus kugunakan sebaliknya. Terlambat. Kata itu yang menjatuhkan image -ku di mata mereka. Lebih dari setengah jam. Sungguh parah untuk seorang siswa baru di masa orientasi. Dengan muka yang dingin memucat, sudah barang tentu karena kicauan sang kakak pendamping, ku awali hari pertama ku dengan mengambil sampah-sampah dari guguran daun pepohonan di sekitar sekolah. Itu sebagai hukuman atas keterlambatan ku. Fiuhhh... Hari pertama memasuki ”neraka”, itulah pikiran ku saat itu. Hahaha,,, pikiran yang sungguh payaah bukan? -_-” Hari itu kami menghabiskan waktu dengan acara baris-berbaris dan menyorakkan yel-yel yang kami buat sendiri. Ditambah mendengarkan celotehan kakak tingkat tentang peraturan-peratu

Syuhada Kecil, Anak ku

Malam semakin pekat. Dibalut dingin yang hampir-hampir membekukan sum-sum tulang. Sunyi. Hawa kematian masih menggelayut di langit kota. Gaza. Kota itu kini laksana kota mati. Hening tanpa suara berselimut bau anyir darah. Israel kembali melakukan aksi biadabnya. Bom-bom menukik tajam menghantam apa saja. Meluluhlantakkan gedung-gedung. Merenggut nyawa-nyawa kecil tak berdosa. Tumbang sebagai syuhada diiringi takbir keluarganya. Di sebuah lorong yang sempit lagi pengap. Bertemankan cacing dan tikus. Bergelimangan genangan air bekas hujan. Gelap, tak ada cahaya. Dua sosok tubuh lemah duduk bersender di dinding lorong. Saling berpelukkan. Napasnya tersengal ketakutan. Badan keduanya menggigil tersengat dinginnya angin malam. Sangat kontras dengan kehidupan di bumi lain yang sedang nikmat tidur di kasur yang empuk. Bantal permadani. Berselimut mimpi. Indah. Di sini, tanah yang tergenang itulah sebagai alas tidur. Bantal mereka adalah tangan-tangan yang penuh luka. Mimpi mereka adalah ket

I’m a Palestinian

“Alhamdulillah, dia telah menunaikan kewajibannya.” Bisiknya serak namun tegas. Air matanya menetes, bangga. Senyumnya mengembang. Hatinya bergemuruh, mengalunkan syukur tiada henti. Muhammad Luthfy Al-Farisy, dua puluh dua tahun. Anak semata wayang telah syahid, insyaAllah. Tiada kebahagiaan tertinggi seorang ibu selain mendengar anaknya syahid membela agamanya. Surat dari Palestina itu menjadi bukti anaknya telah tiada. Subhanallah, ketika kematiannya, tubuhnya mengeluarkan wangi yang semerbak dan darahnya terus mengalir. Begitu isi lanjutan surat itu. Tak bisa menahan haru, air mata Nisa perlahan menetes. Pikirannya yang mulai rapuh kembali mem- flashback video kehidupan dua puluh empat tahun yang lalu, saat ia menjadi relawan ke Negeri Para Syuhada, Palestina. Waktu dimana Allah mempertemukannya dengan seorang mujahid yang kemudian menjadi suaminya. Perjalanan takdir yang sungguh luar biasa meski tak berlangsung lama. Harus berakhir, saat ia mengandung Luthfy satu bulan. Masih