Langsung ke konten utama

Cukup Ar-Rahman mu menjadi Mahar ku


Mengapa harus Ar-Rahman?
Pikiran Ahmad melalang buana mencari kira-kira jawabannya. Ar-Rahman adalah syarat hapalan yang harus ia penuhi bila hendak melamar Aisha, seorang gadis anak salah satu ustad di desa ujung ibu kota.
Itu permintaan Aisha. Begitu Ustad Amir, ayah Aisha, menerangkan. Bila memang Nak Ahmad berkenan, kini giliran ibu Aisha yang angkat bicara, datanglah lagi ke sini dua minggu lagi untuk menyetor hapalannya. Namun bila Nak Ahmad tidak datang kesini pada hari yang sudah ditentukan, maka kami anggap Nak Ahmad tidak menerimanya syarat itu.
Ahmad hanya tersenyum gamang mendengar permintaan yang aneh menurutnya itu. Ada-ada saja keluarga ini. Gerutunya dalam hati. Setelah mengiyakan, ia pamit pulang. Rasanya tak betah lama-lama dalam suasana yang kaku seperti itu.
Ahmad masih berpikir sambil menyetir mobilnya. Kendaraan roda empat berwarna silver itu melaju dengan kecepatan sedang. Menerobos rintik-rintik hujan yang kian menderas. Membawanya kembali ke gemerlapnya ibu kota.
Hampir dua jam ia menapaki jalanan licin bersama mobil kesayangannya, tepat adzan isya berkumandang, Ahmad sampai di rumahnya. Rumah bergaya klasik berlantai dua itu terlihat megah. Lampu taman seolah ikut memeronakan cantik di sekelilingnya. Dari dalam rumah, tampak sesosok laki-laki setengah baya keluar tergopoh-gopoh membukakan pintu pagar setelah mendengar klakson dari mobil tuannya. Kemudian ia sigap sedikit menundukkan badan ketika mobil silver itu melewatinya. Dia Pak Kosim, salah satu pembantu di rumah Ahmad.
Ahmad menggeliat perlahan. Berusaha menghilangkan penat yang menjalar di seluruh tubuhnya. Hari ini betul-betul melelahkan sekaligus membuat bingung. Setelah memarkirkan mobil, ia langsung menuju kamarnya. Sekilas ia melihat ibunya sedang memperhatikan kepulangannya. Ibunya tersenyum. Raut mukanya menunjukkan keingintahuan tentang misi anak semata wayangnya. Melamar anak teman baik suaminya. Namun Ahmad tak mengindahkan. Maaf Bu, aku lelah. Begitu desah batinnya. Sang ibu sepertinya mengerti. Ia menurungkan niat untuk menyusul ke kamar Ahmad.
Kini, badannya terasa segar kembali setelah mandi dengan air hangat. Ahmad merebahkan tubuhnya perlahan. Matanya menatap hampa ke arah langit-langit kamarnya. Aah, jika tidak karena desakan Papa, tak sudi aku menikah dengan orang yang sama sekali aku tak kenal. Bagaimana aku mau suka, jika melihatnya saja aku belum pernah. Pikiran Ahmad kembali berplesir tak karuan. Bagaimana jika anak ustad itu ternyata jelek? Aisha... Aisha... beberapa kali ia melafalkan nama gadis itu. Namanya saja kampungan. Tapi, mengapa Papa bersikeras menginginkan aku menikah dengan anak Pak Umar itu?
Sejenak matanya menyisiri kamarnya yang luas. Tepat di atas meja. Matanya berhenti. Mengamati sebuah kitab yang sudah sangat lama ia tinggalkan. Al-Qur’an. Teringat akan pesan Pak Amir tadi siang. Aisha menginginkan ia menghapal Surat Ar-Rahman. Sedikit malas, ia beringsut dari tempat tidurnya yang empuk. Perlahan ia mengambil kitab itu dan mulai membukanya. Tak begitu sulit ia menemukan nama surat yang ia inginkan. Surat ke-55 tepat berada di halaman 531. Hanya 78 ayat, batinnya berguman. Dadanya bergejolak ringan. Aku akan menghapalkannya cukup dengan satu minggu. Tekadnya bulat.
***
”Sayang, bagaimana kemarin? Sukses?” Ibu Ahmad langsung mengeluarkan rasa penasarannya saat melihat Ahmad menuju ruang makan.
”Aisha menginginkan Ahmad menghapal Surat Ar-Rahman sebelum melamarnya, Ma. Dan dua minggu lagi aku harus ke sana untuk menyetor hapalan.”
Ibu Ahmad hanya berdehem. Dahinya mengernyit bingung. Ia pun tak mengerti dengan pola pikir keluarga sahabat suaminya itu.
”Sudah bertemu dengan Aisha nya? Bagaimana? Orangnya cantik?”
”Belum. Kemarin aku hanya diterima oleh kedua orang tuanya.”
”Hmm, apa seperti itu ya cara seorang Ustad memberlakukan calon mantunya? Yaudah sayang, jika memang Ahmad tidak menyukai dia. Batalkan saja. Toh, Papa mu dulu hanya menyarankan bukan membuat keputusan final.” Kali ini sedikit emosi Ibu Ahmad menuturkan kalimatnya.  Ia tidak suka. Dia merasa anaknya tidak diberlakukan dengan baik.
”Tidak, Ma. Ahmad belum menyerah. Ahmad akan buktikan kalo Ahmad bisa.”
Emosinya sedikit mereda. Ia tersenyum. Dipandanginya wajah anaknya lekat-lekat. Keteguhannya sangat mirip dengan almarhum papanya. Hatinya membatin bangga.
***
Hari ini cerah. Tak sedikit pun mendung terlihat bergelayut di dinding langit. Hanya awan putih yang berlayar di birunya cakrawala. Ini minggu kedua tepat di hari ia berjanji akan datang lagi ke rumah Aisha. Ahmad telah siap. Bermodalkan hapalan surat Ar-Rahman, ia melajukan mobilnya menuju rumah Aisha. Sepanjang perjalanan ada perasaan gugup yang menyergap. Ya Allah, mudahkanlah. Ia berdoa khusyuk.
Tepat pukul sepuluh, ia telah sampai di perkarangan rumah Aisha. Rumah mungil bercat putih itu tampak asri. Tamannya menawan indah. Menyejukkan setiap mata yang memandangnya. Ia keluar dari mobilnya. Perlahan, ia menarik napas panjang. Semangat. Pekiknya dalam hati.
Di beranda, terlihat Ustad Amir telah berdiri dengan senyum khasnya. Kali ini ia sendiri. Tak terlihat istrinya.
Setelah mengucapkan salam. Ia dipersilakan masuk. Tak lama kemudian istrinya datang dengan membawa nampan berisi minuman dan sedikit kudapan.
”Silahkan dicicipi. Ndak perlu sungkan. Ini yang buat Aisha loh.” dengan logat jawanya yang masih kental terasa, Ibu Aisah mempersilahkan aku mencicipi hidangannya dengan sedikit menggoda ku. Aku tersenyum dan menganggukan kepala.
”Terima kasih, Bu.” jawab ku sesantun mungkin.
Aku menarik napas panjang perlahan. Berusaha menghilangkan rasa canggung yang ada. Ustad Amir sepertinya tahu kegelisahanku. Ia memperhatikan dengan senyumannya.
”Bagaimana? Sudah mau dimulai hapalannya?”
Aku mengangguk. Setelah membenarkan posisi duduk ku. Aku mulai menyetorkan hapalan ku. Di mulai dengan ta’awudz. Ustad Amir begitu serius mendengarkannya.  Ku pejamkan mataku agar konsentrasi ku penuh.
Tabaarokasmu robbika dziil jalaali wal ikroom.
Hingga ayat ke-78 berhasil ku selesaikan. Sukses. Menurutku.
”Alhamdulillah. Jayyid jiddan.” Ia tersenyum puas. Meskipun aku tak mengerti apa yang baru saja beliau ucapkan. Tapi dari raut mukanya aku tahu ia memujiku. Alhamdulillah. Aku bersyukur dalam hati.
Ustad. Ku panggil Ia perlahan. Ia merespon. Menunggu lanjutan kalimat ku. Namun, kata-kata ku tertahan. Berat sekali untuk melanjutkannya. Bolehkan aku melihat Aisha? Akhirnya kalimat berton-ton itu mampu ku keluarkan.
”Oo, jika itu kehendak Nak Ahmad, ya boleh saja. Sebelum melanjutkan ke tahap pernikahan. Rosulullah pun menganjurkan untuk melihat calon pendampingnya.”
Jawabannya santai. Sangat terbalik dengan apa yang aku pikirkan sebelumnya. Aku bernapas lega.
”Aisha, kemarilah sayang.”
Aah, lembut sekali ia memanggil anaknya. Tak berselang lama sesosok gadis berkerudung coklat sepadan dengan gamisnya keluar dari ruang tengah.
Seketika badanku bergetar hebat. Dadaku berguncang tak karuan. Jantung ku kempang-kempis. Subhanallah, bidadari dari syurga mana yang kau kirimkan ke bumi ini? Belum sempat aku mengembalikan posisi hati ku. Dia tersenyum. Hati ku semakin meleleh melihatnya. Aku menunduk. Tak mampu lama-lama memandangnya.
”Bagaimana Nak Ahmad? Apakah engkau mau melanjutkan lamaran ini?” Ustad Amir menyelidik.
”Ust, sungguh tak ada alasan untuk saya menolaknya.” Jawab ku tersipu malu, masih menunduk. Wajah ku memerah.
”Alhamdulillah. Bagaimana dengan Aish, apakah juga bersedia menikah dengan Nak Ahmad?”
Aisha diam. Ruangan itu senyap. Menunggu jawaban Aisha. Hati ku galau. Jangan-jangan ia menolak? Yaa Robbi, jangan sampai. Hati ku berharap cemas.
”Diamnya seorang gadis menunjukkan persetujuannya.” Ayah Aisha memecah suasana. Wajah ku terangkat. Lurus menatap wajah Ustad Ahmad. Benarkah, Ust? Tanpa sadar aku menanyakan kembali. Menegaskan.
”Betulkan Aish?” Ustad Amir melemparkan pertanyaan ku kepada Aisha. Perlahan Aisha mengangguk. Wajahnya bersemu merah. Senyum ku seketika mengembang. Hati ku bersorak riang.
”Tapi, Aish ingin pernikahannya dilaksanakan hari ini juga, ba’da ashar.”
Senyum ku tiba-tiba redup. Napasku tertahan. Kembali jantung ku terasa mau lepas mendengar permintaannya.
”Apa? Hari ini? Tapi saya belum menyiapkan apa-apa. Mahar pun belum ada.”
Aku mengungkapkan kebingungan ku. Rasanya mustahil menikah secepat kilat seperti ini. Tak ada persiapan sama sekali.
“Cukup Ar-Rahman mu menjadi maharku.” jawabnya lembut.
“Baik kalo begitu. Saya akan menelpon Mama untuk memberitahukan berita ini.”
Aku meminta izin keluar sejenak. Mama harus diberi tahu berita ini.
”Halo, ada apa sayang? Kamu ditolak? Udah Mama duga, mereka hanya ingin mempermainkan kamu.”
Aku berdehem. Tersenyum mendengarkan celotehan Mama yang tak berhenti. Tidak, Ma. Jawab ku singkat. Mama langsung terdiam. Kesempatan ku untuk menjelaskan apa yang baru saja terjadi.
”Ma, Aisha menginginkan menikahnya hari ini setelah ashar.”
”Hari ini? Aduuh, keluarga itu senang banget bikin jantungan.”
Terdengar Mama kembali berceloteh. Aku tertawa geli.
“Yaudah, Mama cepet kesini ya!”
Mama mengiyakan meski masih terdengar shock. Aku menutup telpon setelahnya. Hmm, benar kata Mama, keluarga calon istri ku itu selalu buat jantungan. Aku kembali tersenyum.
***
Adzan ashar berkumandang di masjid Asy-Syafi’i di dekat rumah Aisha. Aku dan seluruh keluarga sholat akan berjama’ah disana. Masjid hampir penuh. Aku takjub dengan masyarakat disini selalu menjaga sholat jama’ahnya dimasjid. Laki-laki dan perempuan. Sebelum sholat. Ustad Amir berdiri di depan mihrab sambil memegang microphone. Memberitahukan perihal akad nikah kami yang akan dilaksanakan hari ini di sini.
Setelah sholat, acara akad nikah kami pun dimulai. Hati ku dagdigdug tak karuan. Keringa dingin membasahi badan ku. Masih belum percaya dengan apa yang terjadi. Aku akan menikah hari ini. Di masjid sederhana. Dengan hanya bermahar Surat Ar-Rahman.
”Bagaimana sah?”
”Sah.” jawab para saksi hampir berbarengan.
Alhamdulillah, semua bertahmid lega. Begitu pun dengan ku. Aku melirik Aisha yang duduk di samping ibunya bersama para jama’ah lain. Ternyata dia pun sedang melirik ke arah ku. Mata kami beradu. Dia terlihat salah tingkah. Tersenyum sambil menunduk malu. Aah, cantiknya.
Setelah prosesi ijab qabul. Semua jama’ah memberi selamat kepada kami. Jingga keemasan menghias ufuk barat. Indah memesona. Seakan ingin ikut menghiasi hati ku yang gembira.
***
Sayang, mengapa harus Ar-Rahman?
Tanya ku pada bidadari ku suatu sore. Dia tersenyum. Menghentikan kegiatannya yang sedang membaca sebuah buku. Beranjak dari duduknya dan bergeser mendekat kepada ku.
“Ar-Rahman, surat yang bernama salah satu Asmaul Husna bermakna Yang Maha Pengasih. Aku ingin kehidupan ku dengan mu dipenuhi oleh rahman-Nya. Dalam surat itu pun Allah menceritakan tentang syurga dan neraka. Aku ingin engkau selalu mengingatkan ku tentang keindahan syurga dan berusaha menggapainya serta pedihnya neraka dan berusaha menjauh darinya. Dalam surat itu pun aku ingin engkau mengingatkan ku tentang makna syukur atas nikmat-nikmat Allah.”

Aku tersenyum. Ku cium keningnya. Subhanallah. Sesungguhnya engkaulah yang mengingatkan ku tentang semua itu, Istri ku. Aku bersyukur telah dipertemukan dengan mu. Allah, sungguh nikmat terbesar-Mu adalah Engkau memberikan dia untuk ku.

**SELESAI**

Komentar

  1. الرحمن. علم القرآن. خلق الانسان علمه البيان........

    BalasHapus
  2. Maka nikmat Tuhan kamu yg manakah yg kamu dustakan ? :')
    *terharuuu

    BalasHapus
  3. Masya allah,, alhamdulillah,, semoga kita jg mendapatkan yg terbaik aamiin allohuma aamiin ya allah

    BalasHapus
  4. subhanAllah
    beruntung sekali lelaki yg bisa mendapatkan wanita seperti itu

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sadarlah Duhai MAkhluk Bernama Manusia

Dia hanya menggertak. Belum semarah Krakatau di masa lampau. Namun manusia telah luluh-lantak dibuatnya. Merapi, satu makhluk diantara ribuan milyar makhluk-Nya. Namun mampu membuat manusia tak berdaya dibuatnya. Air laut Mentawai menggeliat. Pesisir habis terkikis. Walau tak sehebat geliat saudaranya di negeri serambi mekah Namun tetap, manusia luluh-lantak dibuatnya. Tsunami, hanya riak kecil makhluk-Nya. Namun kembali manusia tanpa daya dibuatnya. Manusia, adakah kau mau memahaminya? Engkau hanyalah makhluk LEMAH tanpa daya. Namun kesombonganmu di atas takdirmu sebagai manusia. Berjalan mu membusungkan dada. Engkau lupa, bahwa engkau hanya makhluk hina yang akan kembali ke tanah. Sadarlah. Cukup sudah alam menunjukkan kebencian terhadap arogan mu. Cukup sudah alam muak dengan sikap mu. Saatnya kembali. Tugas mu hanya mengabdi bukan malah semakin menjadi-jadi. Ingat asal mu, ingat tempat kembali mu.

Cinta dan Nafsu

Cinta itu adalah cahaya. Penerang hati yang dulu gulita. Penunjuk jalan yang tadi buta. Penyemangat jiwa yang lalu hampa. Cinta itu adalah tempaan. Mengubah hitam menjadi putih. Mengubah pasir menjadi kilauan mutiara. Mengubah sendu menjadi suka cita. Cinta itu adalah anugerah. Berasal dari Maha Pecinta dengan segala cinta. Menembus lorong waktu dan rasa. Menyembul penuh merona dalam degup penuh irama. Tapi sebenar-benarnya cinta itu adalah ujian Menguji cinta seorang hamba kepada Tuhan-nya. Ujian dari dua pilihan. Mencintai-Nya atau mencintai-nya? Aku tahu, dalam hati azzam kuat tentu memilih-Nya. Namun, adakah amal menuju kepada-Nya atau kepada-nya? Aah Hati, kau pun tahu, cintaku kepada-nya karena-Nya. Tak pelak lagilah karena akhlak dan agama-nya. Duhai Nafsu, sungguh cinta mu menyesatkan. Kau balut kebusukan atas dasar cinta karena-Nya. Kau bertopeng akhlak dan agama, menjerumuskan cinta yang suci dari-Nya. Pantas jika ku sebut dirimu pengecut yang bers