Ai
“Jadi, kau menikah
denganku karena kau tahu kau tak akan bisa hidup bersamanya?”
Dia terdiam, cukup
lama. Ekspresi terkejut cukup jelas terlihat di wajahnya. Dia memandangku
sejenak, sebelum akhirnya menunduk.
“Mungkin!”
Aah, kini giliranku
yang tak mampu bersuara. Mulutku terasa terkunci untuk sekedar menanggapinya. Seketika
saja hawa dingin melesap, mengalir bersama aliran darah. Membuat persendianku
kaku. Terasa mati lemas. Aku menggigit bibir bawah yang bergetar. Menahan
sekuat tenaga agar bulir air mataku tak sampai jatuh menggelinding.
Tidak. Seharusnya aku
biasa-biasa saja. Apapun yang dia ungkapkan tak akan berpengaruh padaku. Masa
lalunya atau apapun yang terjadi padanya bukan urusanku. Iya! Karena pernikahan
ini hanyalah pernikahan yang diatur orang tua. Perjodohan. Aku tak sedikit pun
mencintainya. Tapi mengapa dadaku terasa sesak? Seperti ada ribuan jarum yang
menghujam keras tepat di ulu hati. Sakit.
“Kau baik-baik saja?”
Pertanyaannya
menyadarkanku. Sejenak ku perbaiki posisi duduk sambil mengatur ulang emosiku.
“Tentu saja! Aku hanya
sedikit tersentuh dengan ceritamu. Sungguh menarik!” Aku menjawab sambil
tertawa, menyembunyikan semburat perih yang aku sendiri tak mengerti darimana
datangnya.
“Oo…”
Hanya itu tanggapannya?
Bingung, entah mengapa ada semburat kecewa yang memancar di wajahnya.
“Sudahlah, kita
lanjutkan nanti saja. Aku pergi dulu. Sebentar lagi kelasku mulai.”
Aku bergegas. Beranjak
dari kursi. Mengambil tas yang tergeletak di meja. Berjalan keluar dari café
tempat kami menghabiskan waktu makan siang. Meninggalkannya sendiri. Sengaja
menutup paksa obrolanku dengannya. Hanya ingin cepat-cepat pergi. Menjauh
darinya. Entahlah, perasaanku jadi tidak enak. Semangatku hilang. Otakku
tiba-tiba saja malas untuk bekerja.
“Tunggu! Biar aku
antar.” Serunya sambil berdiri, menahanku.
“Tidak perlu. Kau juga
ada kelas, kan? Kampus kita berlawanan. Aku naik taksi saja.”
Aku menolak tawarannya
dengan cepat, kemudian pergi tanpa menunggu jawabannya.
Taksi yang ku tumpangi
melaju menuju ke sebuah kampus yang cukup popular di kotaku. Di sepanjang
perjalanan, ku habiskan waktu dalam diam. Bertanya dalam hati tentang apa yang
ku rasakan di café tadi. Peraasaan yang tak biasa. Berusaha mencari sebuah
alasan. Aah, ini dia! Itu adalah perasaaan tersentuh karena kejujurannya. Aku
membuat kesimpulan.
Lian
Aku masih di sini.
Sendiri. Semenjak kepergiannya sepuluh menit yang lalu. Cukup lama hingga
coffelatte yang ku pesan tadi pun sudah mulai dingin.
Sungguh. Aku tidak tahu
apa yang benar-benar ada dipikirkannya. Dia setuju menikah denganku. Tanpa
syarat. Hingga aku berpikir dia benar-benar menyukaiku, atau paling tidak dia
menyukaiku. Tapi melihat ekspresinya tadi. Tak tampak rona kecemburuan sedikit
pun. Dia tertawa. Bahkan menganggap ceritaku menarik. Membuatku sedikit kecewa.
Hei, sebentar! Apakah aku menginginkan sesuatu? Dia hanya pelarianku!
Aku mendesah.
Tiba-tiba ponselku
berbunyi. Di layar yang kini berkedip itu muncul sebuah nama. Nama yang tak
asing bagiku. Nama seseorang yang menjadi satu-satunya alasanku bersedia
menikahi Ai. Nama….. Aah, sudahlah. Aku terpaku sesaat, bingung untuk
mengangkat telpon darinya atau mengabaikannya. Cukup! Aku sudah membuat
keputusan. Dia bukan urusanku lagi. Akhirnya ku pilih untuk mendiamkanya, lalu
beranjak pergi.
***
Ai
Sepi. Hanya suara detak
jam yang terdengar. Dia belum kembali. Lampu kamarnya belum menyala dari tadi.
Aku menarik napas perlahan. Ku mainkan mouse laptop dengan malas. Sekali. Dua
kali. Bahkan entah sudah yang ke berapa kalinya aku menoleh kea rah pintu itu.
Berharap dia membukanya. Pulang ke rumah.
Kreekk…
Suara pintu terbuka.
Aku menoleh seketika. Dia pulang. Namun segera ku sembunyikan rona riang
wajahku, kembali pura-pura fokus pada layar laptop.
“Kau belum tidur?”
tanyanya sembari melepaskan sepatu.
“Belum. Tugasku belum
selesai.” Jawabku sekenanya, mataku acuh tak beranjak dari layar laptop.
“Ooo, ku pikir kau
menungguku.”
Dia merebahkan badannya
ke sofa, kakinya diluruskan, berusaha menghilangkan penat. Pandangannya tajam
menatapku. Menunggu jawaban.
“Apa? Tentu saja
tidak!” Aku menjawab ketus. Sebal dengan tingkahnya.
Diam. Tak ada jawaban.
Aku memberanikan diri menatapnya. Kini matanya terpejam, ku tatap wajahnya
lamat-lamat. Semburat lelah benar-benar terlihat jelas. Aku melunak,
“Hei… Kau sudah makan?”
Aku bertanya dengan
hati-hati. Takut menganggu istirahatnya.
“Sudah”
Dia menjawab singkat. Tanpa
membuka matanya.
“Oo, baguslah. Kalo
begitu aku tidur!”
Entah apa yang aku
pikirkan. Perasaanku kacau. Sedih. Kecewa. Penasaran. Bercampur jadi satu. Darimana
saja dia seharian ini? Dengan siapa? Apa yang dilakukannya? Pertanyaan-pertanyaan
itu ingin ku lemparkan padanya. Meminta dia menjawabnya dengan sempurna.
Semuanya. Namun ego menahanku. Enyah sajalah kau! Gerutuku membanting pintu.
Lian
Bang…
Tanpa perlu melihatnya,
aku tahu dia membanting pintu kamarnya. Cukup keras hingga mengusik gendang
telingaku. Aku hanya mendesah, entah apa lagi yang membuatnya marah hari ini.
Aku menggeliat.
Merenggangkan otot-ototku yang kaku, melemaskannya. Lalu dengan malas aku beranjak
menuju kamar mandi belakang. Melewati meja makan yang di setting cukup
minimalis dengan dapur kecil yang bersih. Dia selalu membersihkannya, setiap
hari. Huhh? Ada bebauan nikmat di atas meja yang membuat seketika air liurku
terbit. Aha, benar saja. Lauk-pauk tertata rapi di piring-piring mungil itu.
Aku tersenyum. Dia membuatkanku makan malam. Lagi.
***
Komentar
Posting Komentar