Langsung ke konten utama

Separuh Bulan untuk Ai [Part 1]

Ai

“Jadi, kau menikah denganku karena kau tahu kau tak akan bisa hidup bersamanya?”

Dia terdiam, cukup lama. Ekspresi terkejut cukup jelas terlihat di wajahnya. Dia memandangku sejenak, sebelum akhirnya menunduk.

“Mungkin!”

Aah, kini giliranku yang tak mampu bersuara. Mulutku terasa terkunci untuk sekedar menanggapinya. Seketika saja hawa dingin melesap, mengalir bersama aliran darah. Membuat persendianku kaku. Terasa mati lemas. Aku menggigit bibir bawah yang bergetar. Menahan sekuat tenaga agar bulir air mataku tak sampai jatuh menggelinding.

Tidak. Seharusnya aku biasa-biasa saja. Apapun yang dia ungkapkan tak akan berpengaruh padaku. Masa lalunya atau apapun yang terjadi padanya bukan urusanku. Iya! Karena pernikahan ini hanyalah pernikahan yang diatur orang tua. Perjodohan. Aku tak sedikit pun mencintainya. Tapi mengapa dadaku terasa sesak? Seperti ada ribuan jarum yang menghujam keras tepat di ulu hati. Sakit.

“Kau baik-baik saja?”

Pertanyaannya menyadarkanku. Sejenak ku perbaiki posisi duduk sambil mengatur ulang emosiku.

“Tentu saja! Aku hanya sedikit tersentuh dengan ceritamu. Sungguh menarik!” Aku menjawab sambil tertawa, menyembunyikan semburat perih yang aku sendiri tak mengerti darimana datangnya.

“Oo…”

Hanya itu tanggapannya? Bingung, entah mengapa ada semburat kecewa yang memancar di wajahnya.

“Sudahlah, kita lanjutkan nanti saja. Aku pergi dulu. Sebentar lagi kelasku mulai.”

Aku bergegas. Beranjak dari kursi. Mengambil tas yang tergeletak di meja. Berjalan keluar dari café tempat kami menghabiskan waktu makan siang. Meninggalkannya sendiri. Sengaja menutup paksa obrolanku dengannya. Hanya ingin cepat-cepat pergi. Menjauh darinya. Entahlah, perasaanku jadi tidak enak. Semangatku hilang. Otakku tiba-tiba saja malas untuk bekerja.

“Tunggu! Biar aku antar.” Serunya sambil berdiri, menahanku.

“Tidak perlu. Kau juga ada kelas, kan? Kampus kita berlawanan. Aku naik taksi saja.”

Aku menolak tawarannya dengan cepat, kemudian pergi tanpa menunggu jawabannya.
Taksi yang ku tumpangi melaju menuju ke sebuah kampus yang cukup popular di kotaku. Di sepanjang perjalanan, ku habiskan waktu dalam diam. Bertanya dalam hati tentang apa yang ku rasakan di café tadi. Peraasaan yang tak biasa. Berusaha mencari sebuah alasan. Aah, ini dia! Itu adalah perasaaan tersentuh karena kejujurannya. Aku membuat kesimpulan.

Lian

Aku masih di sini. Sendiri. Semenjak kepergiannya sepuluh menit yang lalu. Cukup lama hingga coffelatte yang ku pesan tadi pun sudah mulai dingin.
Sungguh. Aku tidak tahu apa yang benar-benar ada dipikirkannya. Dia setuju menikah denganku. Tanpa syarat. Hingga aku berpikir dia benar-benar menyukaiku, atau paling tidak dia menyukaiku. Tapi melihat ekspresinya tadi. Tak tampak rona kecemburuan sedikit pun. Dia tertawa. Bahkan menganggap ceritaku menarik. Membuatku sedikit kecewa. Hei, sebentar! Apakah aku menginginkan sesuatu? Dia hanya pelarianku!

Aku mendesah.

Tiba-tiba ponselku berbunyi. Di layar yang kini berkedip itu muncul sebuah nama. Nama yang tak asing bagiku. Nama seseorang yang menjadi satu-satunya alasanku bersedia menikahi Ai. Nama….. Aah, sudahlah. Aku terpaku sesaat, bingung untuk mengangkat telpon darinya atau mengabaikannya. Cukup! Aku sudah membuat keputusan. Dia bukan urusanku lagi. Akhirnya ku pilih untuk mendiamkanya, lalu beranjak pergi.
***

Ai

Sepi. Hanya suara detak jam yang terdengar. Dia belum kembali. Lampu kamarnya belum menyala dari tadi. Aku menarik napas perlahan. Ku mainkan mouse laptop dengan malas. Sekali. Dua kali. Bahkan entah sudah yang ke berapa kalinya aku menoleh kea rah pintu itu. Berharap dia membukanya. Pulang ke rumah.

Kreekk…

Suara pintu terbuka. Aku menoleh seketika. Dia pulang. Namun segera ku sembunyikan rona riang wajahku, kembali pura-pura fokus pada layar laptop.

“Kau belum tidur?” tanyanya sembari melepaskan sepatu.

“Belum. Tugasku belum selesai.” Jawabku sekenanya, mataku acuh tak beranjak dari layar laptop.

“Ooo, ku pikir kau menungguku.”

Dia merebahkan badannya ke sofa, kakinya diluruskan, berusaha menghilangkan penat. Pandangannya tajam menatapku. Menunggu jawaban.

“Apa? Tentu saja tidak!” Aku menjawab ketus. Sebal dengan tingkahnya.

Diam. Tak ada jawaban. Aku memberanikan diri menatapnya. Kini matanya terpejam, ku tatap wajahnya lamat-lamat. Semburat lelah benar-benar terlihat jelas. Aku melunak,

“Hei… Kau sudah makan?”

Aku bertanya dengan hati-hati. Takut menganggu istirahatnya.

“Sudah”

Dia menjawab singkat. Tanpa membuka matanya.

“Oo, baguslah. Kalo begitu aku tidur!”

Entah apa yang aku pikirkan. Perasaanku kacau. Sedih. Kecewa. Penasaran. Bercampur jadi satu. Darimana saja dia seharian ini? Dengan siapa? Apa yang dilakukannya? Pertanyaan-pertanyaan itu ingin ku lemparkan padanya. Meminta dia menjawabnya dengan sempurna. Semuanya. Namun ego menahanku. Enyah sajalah kau! Gerutuku membanting pintu.

Lian

Bang…

Tanpa perlu melihatnya, aku tahu dia membanting pintu kamarnya. Cukup keras hingga mengusik gendang telingaku. Aku hanya mendesah, entah apa lagi yang membuatnya marah hari ini.

Aku menggeliat. Merenggangkan otot-ototku yang kaku, melemaskannya. Lalu dengan malas aku beranjak menuju kamar mandi belakang. Melewati meja makan yang di setting cukup minimalis dengan dapur kecil yang bersih. Dia selalu membersihkannya, setiap hari. Huhh? Ada bebauan nikmat di atas meja yang membuat seketika air liurku terbit. Aha, benar saja. Lauk-pauk tertata rapi di piring-piring mungil itu. Aku tersenyum. Dia membuatkanku makan malam. Lagi.

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cukup Ar-Rahman mu menjadi Mahar ku

Mengapa harus Ar-Rahman? Pikiran Ahmad melalang buana mencari kira-kira jawabannya. Ar-Rahman adalah syarat hapalan yang harus ia penuhi bila hendak melamar Aisha, seorang gadis anak salah satu ustad di desa ujung ibu kota. Itu permintaan Aisha. Begitu Ustad Amir, ayah Aisha, menerangkan. Bila memang Nak Ahmad berkenan, kini giliran ibu Aisha yang angkat bicara, datanglah lagi ke sini dua minggu lagi untuk menyetor hapalannya. Namun bila Nak Ahmad tidak datang kesini pada hari yang sudah ditentukan, maka kami anggap Nak Ahmad tidak menerimanya syarat itu. Ahmad hanya tersenyum gamang mendengar permintaan yang aneh menurutnya itu. Ada-ada saja keluarga ini. Gerutunya dalam hati. Setelah mengiyakan, ia pamit pulang. Rasanya tak betah lama-lama dalam suasana yang kaku seperti itu. Ahmad masih berpikir sambil menyetir mobilnya. Kendaraan roda empat berwarna silver itu melaju dengan kecepatan sedang. Menerobos rintik-rintik hujan yang kian menderas. Membawanya kembali ke gemerlapnya ibu ko...

Sadarlah Duhai MAkhluk Bernama Manusia

Dia hanya menggertak. Belum semarah Krakatau di masa lampau. Namun manusia telah luluh-lantak dibuatnya. Merapi, satu makhluk diantara ribuan milyar makhluk-Nya. Namun mampu membuat manusia tak berdaya dibuatnya. Air laut Mentawai menggeliat. Pesisir habis terkikis. Walau tak sehebat geliat saudaranya di negeri serambi mekah Namun tetap, manusia luluh-lantak dibuatnya. Tsunami, hanya riak kecil makhluk-Nya. Namun kembali manusia tanpa daya dibuatnya. Manusia, adakah kau mau memahaminya? Engkau hanyalah makhluk LEMAH tanpa daya. Namun kesombonganmu di atas takdirmu sebagai manusia. Berjalan mu membusungkan dada. Engkau lupa, bahwa engkau hanya makhluk hina yang akan kembali ke tanah. Sadarlah. Cukup sudah alam menunjukkan kebencian terhadap arogan mu. Cukup sudah alam muak dengan sikap mu. Saatnya kembali. Tugas mu hanya mengabdi bukan malah semakin menjadi-jadi. Ingat asal mu, ingat tempat kembali mu.

Sepucuk Rindu untuk Ramadhan-Mu

Tak terasa dua puluh hari telah berlalu. Sangat cepat. Aku seperti ketinggalan kereta mengajar pesonamu. Kau seperti seorang putri yang diperebutkan berjuta pangeran tampan. Walaupun tetap tidak adil aku mengibaratkanmu seperti itu. Maafkan aku, karena aku tak mampu lagi mengibaratkan selain itu. Kau begitu indah. Begitu sempurna. Di saat kau datang, pintu-pintu neraka tertutup dan pintu-pintu syurga dibuka. Pahala menjadi berlipat ganda. Pengampunan tersebar luas. Mampukah aku beremu denganmu tahun depan? Itulah yang aku pikirkan ketika akan, sedang, dan telah bertemu denganmu. Kini, di sepuluh terakhirmu, kau tampak semakin indah. Apa karena pesona seribu bulan di satu malammu  yang kini masih misteri? Kau tahu? Semua orang sedang mengincarmu. Aah, kau pasti tahu itu. Ramadhan. Aku merindukanmu. Dan kan selalu merindukanmu.