Langsung ke konten utama

Apakah Engkau Masih Mencintaiku?

Apakah Engkau masih mencintaiku? Pertanyaan itu selalu melayang-layang dipikiranku. Berada di posisi paling menakutkan dalam otakku. Terekan dalam long-term memory. Menghantui seperti hantu. Melumpuhkan sendi. Menimbulkan was-was dalam hati.

Saat Engkau memberiku musibah. Apakah Engkau masih mencintaiku? Apakah ini sebagai pertanda Engkau mencintaiku? Kekasih-Mu telah mengatakan, ketika Engkau mencintai seorang hamba, Engkau akan mengujinya? Dan aku percaya. Karena itu aku berharap. Aku adalah bagian dari hamba-hamba yang Engkau uji sebagai pernyataan atas cinta-Mu.  Namun, benarkah aku akan menjadi bagian dari hamba-hamba yang beruntung itu? Bila melihat aku. Bercermin dari kepribadianku. Berkaca dari pengabdianku. Aaah, rasanya tak mungkin. Siapalah aku? Aku, hanyalah seorang hamba yang penuh ingkar dan dosa. Mustahil seorang sepertiku  mendapatkan cinta-Mu. Walaupun aku ingin. Meskipun aku sangat berharap.
Engkau. Ataukah Engkau tengah marah kepadaku? Dan tengah menghukumku akibat dari kelalaian serta dosa-dosaku. Allah, aku tahu pasti. Musibah yang menimpaku adalah disebabkan  oleh perbuatanku sendiri. Namun, bukankah Engkau Maha pengampun? Dengan Sifat-Mu itu, Engkau akan mengampuni hamba-hamba yang Engkau kehendaki. Allah, apakah aku termasuk salah satunya? Aku takut. Terlalu takut. Aku bukan bagian mereka. Walaupun aku ingin. Meskipun aku sangat berharap.

Saat Engkau memberiku kebahagiaan. Apakah Engkau masih mencintaiku? Apakah ini sebagai pertanda Engkau mencintaiku? Apakah ini bentuk nikmat dari-Mu? Surat cinta-Mu begitu agung memberi pesan, Engkau memberi nikmat kepada hamba-hamba yang Engkau sukai sebagai balasan atas rasa syukur dari para hamba-Mu. Namun, bila melihat aku. Makhluk yang lidahnya sangat jarang mengucap syukur. Tubuh yang seakan terlalu sombong untuk berterima kasih.  Apakah aku masih pantas masuk ke dalam golongan mereka?  Aku takut. Terlalu takut aku bukanlah bagian dari mereka. Walaupun aku ingin. Meskipun aku sangat berharap.

Engkau. Ataukah Engkau tengah membiarkan aku menikmati kebahagiaan hampa selayak Fir’aun dan para pengikutnya. Mereka yang oleh Nabi-Mu disebut sebagai satu kaum yang disegerakan kenikmatan dalam kehidupan dunia. Hingga nanti neraka mengambil alih memanggil-manggil untuk siap menyantap. Ya Allah, aku takut. Terlalu takut. Tapi Allah, bukankan Engkau Maha mengasihi? Cinta-Mu di atas murka-Mu. Aku. Meski ku tahu aku bukanlah hamba yang pantas. Namun, aku masih berharap. Luasnya samudra ampunan-Mu merengkuh lembut tubuh hinaku. Karena ku yakin, cinta-Mu tak terbatas. Ampunan-Mu Maha luas.

“Ya, Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan kerelaan-Mu dari kemarahan-Mu, dan dengan keselamatan-Mu dari siksa-Mu. Aku berlindung kepada-Mu dari ancaman-Mu. Aku tidak mampu menghitung pujian dan sanjungan kepada-Mu, Engkau adalah sebagaimana yang Engkau sanjungkan kepada diri-Mu sendiri.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sadarlah Duhai MAkhluk Bernama Manusia

Dia hanya menggertak. Belum semarah Krakatau di masa lampau. Namun manusia telah luluh-lantak dibuatnya. Merapi, satu makhluk diantara ribuan milyar makhluk-Nya. Namun mampu membuat manusia tak berdaya dibuatnya. Air laut Mentawai menggeliat. Pesisir habis terkikis. Walau tak sehebat geliat saudaranya di negeri serambi mekah Namun tetap, manusia luluh-lantak dibuatnya. Tsunami, hanya riak kecil makhluk-Nya. Namun kembali manusia tanpa daya dibuatnya. Manusia, adakah kau mau memahaminya? Engkau hanyalah makhluk LEMAH tanpa daya. Namun kesombonganmu di atas takdirmu sebagai manusia. Berjalan mu membusungkan dada. Engkau lupa, bahwa engkau hanya makhluk hina yang akan kembali ke tanah. Sadarlah. Cukup sudah alam menunjukkan kebencian terhadap arogan mu. Cukup sudah alam muak dengan sikap mu. Saatnya kembali. Tugas mu hanya mengabdi bukan malah semakin menjadi-jadi. Ingat asal mu, ingat tempat kembali mu.

Cukup Ar-Rahman mu menjadi Mahar ku

Mengapa harus Ar-Rahman? Pikiran Ahmad melalang buana mencari kira-kira jawabannya. Ar-Rahman adalah syarat hapalan yang harus ia penuhi bila hendak melamar Aisha, seorang gadis anak salah satu ustad di desa ujung ibu kota. Itu permintaan Aisha. Begitu Ustad Amir, ayah Aisha, menerangkan. Bila memang Nak Ahmad berkenan, kini giliran ibu Aisha yang angkat bicara, datanglah lagi ke sini dua minggu lagi untuk menyetor hapalannya. Namun bila Nak Ahmad tidak datang kesini pada hari yang sudah ditentukan, maka kami anggap Nak Ahmad tidak menerimanya syarat itu. Ahmad hanya tersenyum gamang mendengar permintaan yang aneh menurutnya itu. Ada-ada saja keluarga ini. Gerutunya dalam hati. Setelah mengiyakan, ia pamit pulang. Rasanya tak betah lama-lama dalam suasana yang kaku seperti itu. Ahmad masih berpikir sambil menyetir mobilnya. Kendaraan roda empat berwarna silver itu melaju dengan kecepatan sedang. Menerobos rintik-rintik hujan yang kian menderas. Membawanya kembali ke gemerlapnya ibu ko...

Sepucuk Rindu untuk Ramadhan-Mu

Tak terasa dua puluh hari telah berlalu. Sangat cepat. Aku seperti ketinggalan kereta mengajar pesonamu. Kau seperti seorang putri yang diperebutkan berjuta pangeran tampan. Walaupun tetap tidak adil aku mengibaratkanmu seperti itu. Maafkan aku, karena aku tak mampu lagi mengibaratkan selain itu. Kau begitu indah. Begitu sempurna. Di saat kau datang, pintu-pintu neraka tertutup dan pintu-pintu syurga dibuka. Pahala menjadi berlipat ganda. Pengampunan tersebar luas. Mampukah aku beremu denganmu tahun depan? Itulah yang aku pikirkan ketika akan, sedang, dan telah bertemu denganmu. Kini, di sepuluh terakhirmu, kau tampak semakin indah. Apa karena pesona seribu bulan di satu malammu  yang kini masih misteri? Kau tahu? Semua orang sedang mengincarmu. Aah, kau pasti tahu itu. Ramadhan. Aku merindukanmu. Dan kan selalu merindukanmu.