Ai “Jadi, kau menikah denganku karena kau tahu kau tak akan bisa hidup bersamanya?” Dia terdiam, cukup lama. Ekspresi terkejut cukup jelas terlihat di wajahnya. Dia memandangku sejenak, sebelum akhirnya menunduk. “Mungkin!” Aah, kini giliranku yang tak mampu bersuara. Mulutku terasa terkunci untuk sekedar menanggapinya. Seketika saja hawa dingin melesap, mengalir bersama aliran darah. Membuat persendianku kaku. Terasa mati lemas. Aku menggigit bibir bawah yang bergetar. Menahan sekuat tenaga agar bulir air mataku tak sampai jatuh menggelinding. Tidak. Seharusnya aku biasa-biasa saja. Apapun yang dia ungkapkan tak akan berpengaruh padaku. Masa lalunya atau apapun yang terjadi padanya bukan urusanku. Iya! Karena pernikahan ini hanyalah pernikahan yang diatur orang tua. Perjodohan. Aku tak sedikit pun mencintainya. Tapi mengapa dadaku terasa sesak? Seperti ada ribuan jarum yang menghujam keras tepat di ulu hati. Sakit. “Kau baik-baik saja?” Pertanyaannya menya...
Tak terasa dua puluh hari telah berlalu. Sangat cepat. Aku seperti ketinggalan kereta mengajar pesonamu. Kau seperti seorang putri yang diperebutkan berjuta pangeran tampan. Walaupun tetap tidak adil aku mengibaratkanmu seperti itu. Maafkan aku, karena aku tak mampu lagi mengibaratkan selain itu. Kau begitu indah. Begitu sempurna. Di saat kau datang, pintu-pintu neraka tertutup dan pintu-pintu syurga dibuka. Pahala menjadi berlipat ganda. Pengampunan tersebar luas. Mampukah aku beremu denganmu tahun depan? Itulah yang aku pikirkan ketika akan, sedang, dan telah bertemu denganmu. Kini, di sepuluh terakhirmu, kau tampak semakin indah. Apa karena pesona seribu bulan di satu malammu yang kini masih misteri? Kau tahu? Semua orang sedang mengincarmu. Aah, kau pasti tahu itu. Ramadhan. Aku merindukanmu. Dan kan selalu merindukanmu.