Ini tentang kisah ku enam tahun silam. Dimana masa-masa aku masih imut dahulu (walaupun sekarang masih tetap imut haha). SMA. Terdampar di Masa Orientasi Siswa, MOS.
Hari pertama, hari yang seharusnya digunakan untuk “cari muka” pada kakak tingkat dengan mencitrakan segudang kebaikan, harus kugunakan sebaliknya. Terlambat. Kata itu yang menjatuhkan image-ku di mata mereka. Lebih dari setengah jam. Sungguh parah untuk seorang siswa baru di masa orientasi.
Dengan muka yang dingin memucat, sudah barang tentu karena kicauan sang kakak pendamping, ku awali hari pertama ku dengan mengambil sampah-sampah dari guguran daun pepohonan di sekitar sekolah. Itu sebagai hukuman atas keterlambatan ku. Fiuhhh...
Hari pertama memasuki ”neraka”, itulah pikiran ku saat itu. Hahaha,,, pikiran yang sungguh payaah bukan? -_-”
Hari itu kami menghabiskan waktu dengan acara baris-berbaris dan menyorakkan yel-yel yang kami buat sendiri. Ditambah mendengarkan celotehan kakak tingkat tentang peraturan-peraturan selama masa orientasi.
”Selama masa orientasi kalian wajib bla bla bla, dan membawa bla bla bla, tidak boleh bla bla bla.”
Hhuah, segudang peraturan yang membuat pusing dua belas keliling. Hampir-hampir aku menangis dibuatnya. Bagaimana tidak, aku belum pernah mendapat penganiayaan seberat itu. Akhirnya ku telpon ayah.
”Ayah, besok harus datang ke kos. Bantuin Erra buat peralatan MOS.” begitu pinta ku sedikit memaksa.
Besoknya ayah datang. Ternyata teman satu kos ku pun memanggil kedua orang tuanya untuk turut membantu. Hmm, baguslah. Berarti aku tak terlalu malu harus di cap ”Intan Payung” hehe.
Oiya hampir lupa, kami seluruh siswa baru, di bagi menjadi beberapa kelompok. Aku masuk pada kelompok pertama. Dalam setiap kelompok, kami diberi nama panggilan baru. Lucu-lucu loh. Nah, aku mendapat nama panggilan ”Si Manis Jerambah Gantung”. Artinya ”Si Manis Jembatan Gantung”. Mirip nama judul film yaa. Wah, hantu dong? Hehehe. Ehmmm gag lah, kakak tingkat memberi nama itu karena tahu aku itu memang manis haha (Narsis).
Di hari kedua, bertepatan dengan hari Senin. Aku kembali ”terpaksa” mengikuti MOS lagi. Dengan membawa bekal berupa rambut di kuncir tiga yang akan terus bertambah tiga kali lipat setiap hari. So, jangan bayangin berapa banyak kuncir jagung melambai-lambai di kepala ku pada hari ke-4 yaa. Lanjut. Tas dari bekas karung terigu. Rumbai-rumbai ala penari hula-hula. Tak lupa kaos kaki beda warna, hitam dan putih, yang harus di pakai dengan ketinggian yang berbeda. Dll. (kebanyakan kalo ditulis semua). Sebenarnya aku tidak tahu, aku mendapat injeksi ke-pede-an dari mana ketika memakai semua peralatan itu. Mungkin muka kakak tingkat yang terlihat sangar itulah injeksinya.
Hhaah, MOS. Masa menjadi ”budak”. Di-omelin. Dapat hukuman. Menjadi bahan mainan kakak tingkat. Apalagi pada saat meminta tanda tangan. Dengan wajah memelas, berhias senyuman ”dipaksa” paling ramah. Mulai ku dekati kakak tingkat ku. Sebelum mereka memberikan tanda tangannya, sudah pasti hukuman kecil harus ku jalani.
”Siapa namanya, Dek?” begitu sapanya pertama.
“Erra, Mbak.” Jawab ku sesempurna mungkin.
“Hmm, Erra. Sebelum dapet tanda tangan mbak. Coba hitung dulu jumlah pohon yang ada di SMANSA.”
Glek. Apa? Ngitung pohon? Aku langsung lemas.
Tahukah Anda kawan? Sekolah ku sering di sebut dengan Kampus Tembesu dikarenakan banyaknya pohon yang tersebar di sekitar 3 hektar area sekolah. Dan itu harus ku hitung?
Sungguh tega T.T
Hanya bisa mengelus dada. Dalam hati menggerutu lara. Meski wajah tetap tampilkan senyum memesona, derita oh derita. Halah.
Lain lagi pada kakak tingkat berikutnya. Di bukanya buku ku. Dibacanya sekilas.
”Hmm, namanya Erra ya?”
”Iyaa, Kak.” jawab ku, tentu dengan wajah yang tak lepas dari ”terpaksa” sumringah.
”Erra, coba kamu nyanyi lagu Potong Bebek Angsa, tapi huruf vokalnya diganti jadi huruf-o semua sambil bergaya.”
Mau tidak mau ku turuti permintaan kakak itu. Dengan sedikit berlenggak-lenggok ke kiri dan ke kanan, yang dibuat semirip mungkin dengan bebek. Ku mulai bernyanyi.
Potong bobok ongso mosok do koolo.
Nono monto donso, donso ompot kolo.
Sorong ko sono, sorong ko koro.
Lololo lololo loloooo.
Suara pas-pasan ku terdengar lebih fals dari sebelumnya. Wajah ku memerah karena. Rasanya ingin segera berlari menjauh dari tempat itu. Menceburkan diri ke sungai, kurasa lebih baik. Iya, karena aku bisa berenang hehe. Coba kalo nggak? Nggak bakal deh. :Dv
Haduduh. Penyakit stresnongitis ku sudah tahap akut. Berat badan ku turun drastis. Dalam keadaan antara hidup dan mati itu, dengan sangat terpaksa aku harus menyetujui pendapat teman ku. Anggap sebagai latihan mental. Iyaa, sekali lagi saudara-saudara, anggap sebagai latihan mental. Hiks T.T
Ough, sepertinya cukup sampai disini ku kisahkan penderitaan ku di masa perkenalan itu. Aku akan membawa kalian melesat ke udara, menukik tajam menuju ke kosan ku hehe. Ceritanya, aku satu kamar bertiga dengan temanku, Anni dan Tiwi. Sesuai dengan kebiasaan buruk ku yang mudah lupa nama orang. Hal itu pun tak bisa dielakkan terjadi. Saat itu waktu makan sore (belum bisa dikatakan makan malam, karena matahari masih bergaya di ufuk barat), kami makan bertiga di ruang tengah. Asyik makan, ada sesuatu yang mengganjal dalam hati yang ingin ku tanyakkan pada sahabat baru satu kamar ku itu. Namun untung tak dapat diraih, malang tak dapat di tolak, aku lupa nama mereka. Jika aku menanyakan ulang, mau di letakkan dimana muka ku. Pasti mereka berpikir, hhuuh, Erra. Sudah hampir satu minggu berteman masih lupa? Sungguh tidak setia kawan.
Ooh, Tidak. Tidak. Aku tidak mau mereka berkata buruk seperti itu. Mulai lah aku mencari akal bagaimana cara mengetahui nama mereka. Saat asyik bergelut dengan pikiran ku. Hp Anni berbunyi.
“Anni, Hp-mu bunyi tuh.” Tiwi –yang sebelumnya ku lupa namanya- memberi tahu.
Hmm, jadi nama yang pakai baju biru itu Anni toh. Seperti mendapat durian runtuh, aku tersenyum dalam hati. Hehehe, jadi tinggal cari tahu nama temanku yang satunya. Tapi siapa yaa? Kembali pikiran ku bergelut gaya sumo, halah. Sambil menikmati makanan ku, aku berpikir. Mata ku berputar ke kiri dan ke kanan. Tanda berpikir keras.
Opps, mata ku menangkap sebuah benda bersampul coklat. Segera ku ambil.
”Ini punya siapa?” Tanya ku pada mereka. Sudah tentu tanpa menyebut nama.
”Itu punya ku.” Tiwi menjawab.
Ku baca nama yang tertera di bagian depan buku. Cepat. Ranika Tiwi Wijayanti. Begitu yang tertera.
Ooo, jadi namanya Tiwi. Hmm, misi kedua ku berhasil. Dengan mudah ku sebut nama mereka, dan menanyakan apa yang telah lama mengganjal di pikiran ku. Excellent. Hahaha.
Hari minggu, waktunya bebas. Bebas dari penganiayaan kakak tingkat. Sejenak bersantai ria bersama teman-teman. Kebetulan hari itu, kos ku kedatangan teman dari kos sebelah. Kami cepat akrab karena dulu pernah bertemu saat mengikuti kegiatan Pramuka. Waktu SMP. Namanya Dora. Bukan Dora the explorer yaa.
Setelah salam, Ia pun masuk ke kamar. Langsung berkicau tanpa diminta.
“Wah, kemarin aku bikin malu.” Awal kalimat yang sangat memancing untuk diminta kelanjutannya.
Begini ceritanya. Kemarin, Aku di panggil Mr.Z. Beliau minta tolong untuk memanggil Bu A agar menghadapnya. Dengan pede tingkat atas, aku meluncur ke kantor. Di sana suasananya sepi. Hanya ada beberapa orang guru.
Dia diam sejenak. Mengambil napas sebelum melanjutkan bercerita.
Lalu, aku bertanya dengan salah seorang Ibu Guru yang ada di sana. ”Bu, Ibu A mana yaa? Mr. Z memanggil beliau ke kantornya”. Begitu tanya ku.
Ibu itu tersenyum sejenak. Kemudian, Beliau menyuruhku push up sepuluh kali. Jelas saja aku kaget. Dalam hati aku menggerutu. Wah, ternyata bukan cuma kakak tingkat saja yang doyan menganiaya. Guru pun tak kalah sadisnya. Tanpa memberi tahu kesalahanku pula. Meski puluhan tanda tanya bergelayutan di rongga otak ku, tetap saja ku lakukan apa yang Ibu itu minta.
Napas masih balapan. Sepuluh kali push up sudah dilaksanakan. Ibu itu tersenyum kembali. ”Namamu siapa?” Tanyanya sejurus kemudian. ”Dora, Bu.” jawab ku singkat.
”Lain kali, di hapal yaa nama gurunya.”
Dengan sisa-sisa kecerdasan ku, ku coba mencerna kata-kata Ibu itu. OMG, jangan-jangan?
Iyaa, benar. Ternyata Ibu itu lah yang bernama Ibu A.
Hahaha, kami tertawa serentak mengakhiri cerita lucu teman ku, Dora. Makanya hati-hati, sindir ku menggoda.
***
Hari berlalu, bulan berjalan, tahun pun berganti. Kini aku telah kelas tiga SMA. Terasa cepat memang. Seperti kewajiban kakak tingkat ku sebelumnya. Kami diharuskan pindah ke asrama. Alasannya, agar kami bisa mengikuti belajar malam atau yang lebih familair disebut bimbel. Kalian sudah kelas tiga, harus mempersiapkan UAN. Begitu Mr. Z selaku kepala sekolah menerangkan. It’s ok. Meski sudah mengikuti kegiatan belajar wajib dari jam 07.00-16.00 WIB. Tetap harus ’menyemangati diri’ mengikuti bimbel. Kerja rodi yang sangat melelahkan.
Di asrama, satu kamar terdiri dari enam belas siswa. Wow, sungguh jumlah yang sangat fantastis. Fantastis pula keragaman sifat dan sikapnya. Aku harus kembali berta’aruf dengan kebiasaan-kebiasaan mereka. Hal-hal yang tidak mereka sukai harus benar-benar ku jauhi. Tidak mudah memang menyatukan diri ke dalam enam belas sifat dan sikap teman-teman ku. Tapi toh, kami bisa membuktikannya selama setahun. Memang riak-riak kecil sering terjadi. Tapi itulah bumbu persahabatan. Pertengkaran kecil akan membawa pada pengenalan lebih dalam terhadap sosok sahabat. Dan itu indah. ^_^
Kami masuk asrama Juli. Setelah berberes-beres ria ala tukang rumah yang sok lihai, kami memulai hidup baru sebagai penduduk Asrama. Kami saling bercengkrama. Berkeluh kesah. Tertawa bersama. Hingga suatu ketika, satu hari sebelum hari ulang tahun ku. Aku merasa ada yang berbeda. Mereka tampak menyulitkan ku. Dan bodohnya diri ku (lebih tepatnya lugu hehe), aku tak menyadari hal itu. Hingga, mereka pun mendendangkan lagu Happy Birthday. Hmm, aku tak mengira mereka tahu tanggal lahir ku.
”Selamat ulang tahun ya, Sayang.” begitu lah ucapan teman-teman satu kamar ku.
”Ternyata susah membuat Erra marah.” Celetuk salah seorang teman ku setelahnya. Hmm, ku mulia curiga.
“Iyaa, Erra. Kami tadi sudah berusaha membuat kamu marah, sebel. Tapi kayaknya kamu masih anteng-anteng aja. Usaha kami tak berhasil.”
Oalah, ternyata ini keanehannya. Pantas saja aku seperti dipermainkan. Eh, tapi untung saja kalian cepat kewalahan. Sejujurnya, usaha kalian hampir berhasil loh. Begitu ungkap ku, dalam hati hahaha.
Berawal dari sana, aku terkenal sebagai sosok dewasa yang sabar. Ckckck, andai mereka tahu sifat asli ku. Ku bersyukur, Allah sedang menyembunyikannya waktu itu.
Oiya, kamar kami berada di lanta dua. Setiap kamar diberi nama Kartini dan di urutkan sesuai posisi dari pintu masuk. Kami berada di Kartini 7 atau sering disebut KATU. Nama sayuran favorit siapa hayoo? Hehe. Di sini, kami membentuk team yang solid (ciee). Kami selalu bersama, sampai-sampai sering terlambant sholat jama’ah di mushola pun kami lakukan bersama hiks T.T
Menjadi makmum masbuk itu sudah jadi langganan. Ada lagunya loh?
Pernah dengar lagu dangdut yang berjudul Mabuk Lagi?
Mabuk lagi aah, mabuk lagi.
Tiap hari mabuk lagi.
Yaa, kira-kira begitulah sepenggal liriknya. Lalu, hubungannya dengan KATU apa?
Sabar dong hehe. Coba bandingkan :
Masbuk lagi aah, masbuk lagi.
Tiap hari masbuk lagi.
Bagaimana? Sudah tau kan hubungannya? Betul sekali, itulah lagu yang sering kami nyanyikan setiap maghrib. Ckckck, jangan ditiru yaa hihihi.
Rutinitas pagi. Pekerjaan yang sangat-sangat membosankan. Apalagi di hari Selasa. Jadwal jogging pagi. Setelah begadang semalaman menguras otak berliter-liter untuk mengerjakan tugas yang sejibun. Paginya harus berlari mengitari Kota Muaraenim yang berliku-liku.
Pernah suatu ketika, hujan mengguyur kota dengan derasnya. Asyik, jogging batal. Begitu ungkapan syukur dalam hati. Artinya, kami bisa kembali menarik selimut, melanjutkan mimpi indah yang sempat terputus sehabis subuh. Namun sayang, Dewi Fortuna belum hendak menyapa penduduk Asrama, hujan berhenti tepat jam setengah enam. Peluit tanda berkumpul telah di dendangkan. Grasak-grusuk, itulah yang terjadi di asrama. Omelan-omelan ketidaksukaan meluncur begitu saja tanpa sempat masuk saringan. Hhuh, habis hujan saja masih jogging. Sungguh TERLALU. Begitu kata Bang Rhoma, eh salah, kata teman ku hihiii.
Setelah jogging, waktu menunjukkan pukul 06.45 WIB. Lima belas menit lagi waktu dimulainya pelajaran. Dan bayangkan teman-teman. Di waktu yang sempit itu, aku belum mandi. Hiks T.T
Secepat kilat ku sambar handuk ku, berlari menuju kamar mandi. Tak sampai lima menit selesai. Langsung berganti pakaian seragam. Namun sayang, pletak-pletuk sepatu ”palak buaye”nya Mr. Z telah terdengar ketika aku masih di kamar. Hhah, aku tak mau ber-ta’aruf dengan sepatu palak buaye-nya Mr. Z. Cukup teman ku, yang telah merasakan timpukkan sepatu limited edition-nya Bapak Kepala Sekolah tersayang ku itu. Tapi di situ uniknya Kepala Sekolah ku. Mana ada kepala sekolah yang seperti beliau hihihi.
Hmm, jika ditanya kenapa disebut sepatu palak buaye, aku sendiri tak begitu mengerti. Hanya ungkapan dari mulut ke mulut dan turun temurun. Palak buaye artinya kepala buaya. Mungkin karena ujung sepatunya yang sedikit memanjang, mirip kepala buaya hehe.
“Ayoo, ayoo. Lima menit lagi masuk. Masih ada saja yang berada di dalam asrama. Bapak hitung sampai lima. .... 1.... 2 .... “
Beliau mulai menyuarakan ketegasannya.
Whuaaaa, aku langsung berlari ke luar kamar, menuruni tangga sambil berlari seraya membenahi kerudung dan baju ku yang belum rapi sempurna. Na’as, tetap saja kesigapan ku tak membuahkan hasil. Mencabuti rumput dan berkeliling asrama 8 kali adalah hukuman ku kala ini. Meski begitu, aku masih bersyukur karena tidak berkenalan dengan sepatu palak buaye-nya Mr. Z. Hehe.
Di kelas, aku telah ditunggu oleh teman-teman ku. Belum sampai di muka pintu, aku telah disambut senyum sumringah teman semeja ku. Dia telah tahu berita penderitaan ku di asrama. Dengan cepat ku gapit tangannya.
”Temani aku ke tempat wudhu.” Pinta ku tanpa meminta persetujuan.
”Loh, Ngapain?’ Tanyanya heran seraya mengikuti ku tergesa-gesa dari belakang.
”Belum pake daleman kerudung.” Jawab ku sekenanya.
”Kok bisa?“
”Haduuh, gimana aku mau pakenya kalo bapaknya udah teriak-teriak. Ini kerudungnya aja untung ada yang langsungan. Jadi bisa langsung tak pake.“ Sedokit gemas aku menjelaskan. Dia tersenyum, lebih banyak diam. Mungkin tahu jika sahabatnya sedang sensi tahap akhir, hihihi.
Hmm, ini lah secuil kisah ku. Kisah ta’aruf yang indah dengan kebersamaan yang indah. Mungkin? Haha.
Komentar
Posting Komentar