“Alhamdulillah, dia telah menunaikan kewajibannya.” Bisiknya serak namun tegas. Air matanya menetes, bangga. Senyumnya mengembang. Hatinya bergemuruh, mengalunkan syukur tiada henti. Muhammad Luthfy Al-Farisy, dua puluh dua tahun. Anak semata wayang telah syahid, insyaAllah. Tiada kebahagiaan tertinggi seorang ibu selain mendengar anaknya syahid membela agamanya.
Surat dari Palestina itu menjadi bukti anaknya telah tiada. Subhanallah, ketika kematiannya, tubuhnya mengeluarkan wangi yang semerbak dan darahnya terus mengalir. Begitu isi lanjutan surat itu. Tak bisa menahan haru, air mata Nisa perlahan menetes. Pikirannya yang mulai rapuh kembali mem-flashback video kehidupan dua puluh empat tahun yang lalu, saat ia menjadi relawan ke Negeri Para Syuhada, Palestina. Waktu dimana Allah mempertemukannya dengan seorang mujahid yang kemudian menjadi suaminya. Perjalanan takdir yang sungguh luar biasa meski tak berlangsung lama. Harus berakhir, saat ia mengandung Luthfy satu bulan.
Masih jelas pesan terakhir suaminya, jika aku syahid maka kembalilah ke Indonesia, didik anak kita agar menjadi singa Allah. Derai air mata melepas kepergian pemuda Palestina yang baru tiga bulan menjadi suaminya. Hatinya tetaplah berombak. Nisa bukanlah wanita Palestina yang telah terbiasa dengan perpisahan. Ia adalah wanita Indonesia yang berhati lembut. Tangisan itu menunjukkan kelembutan hatinya.
Desember kelabu tahun 1987, pagi yang dingin dan sepi. Pekikkan takbir menggema seantero Palestina menandai intifada pertama yang men-syahid-kan suami bersama seribu lebih rakyat Palestina lainnya.
***
Di Indonesia, tak mudah ia menjadi sosok single parent bagi Luthfy. Menjadi sosok ayah dalam mencari nafkah, sekaligus menjadi ibu yang berhati lembut. Dua perbedaan kontras yang mau tidak mau harus berkolaborasi di dalam dirinya. Ditambah masa lalu yang begitu membekas tak mungkin begitu saja hilang dari memori otaknya. Hari kian berlalu, biru langit tak bertiang masih setia menemani kesendirian Nisa membesarkan sang putra semata wayang. Sebenarnya, beberapa pemuda sholeh telah datang untuk meminangnya. Namun, dengan halus ia tolak. Aku ingin menjadi istrinya di dunia dan akhirat, begitu alasannya.
Tujuh Agustus 1993.
Luthfy tepat berusia lima tahun. Di usianya itu, Ia telah berhasil menghapal 7 juz Al-Qur’an. Ia pun tumbuh menjadi sosok anak yang cerdas dan ceria. Apalagi saat ini ia telah menjadi salah satu siswa di Taman Kanak-Kanak di kota kecil tempat asal ummu-nya, Nisa. Di kelas, Luthfy memang terlihat berbeda dari teman-temannya. Mulai dari perawakan, dan sikap. Secara fisik, dia memang lebih mirip abu-nya, Ahmad, suami Nisa. Awalnya, Luthfy tak terlalu perduli dengan perbedaan itu. Namun, akhir-akhir ini ia mulai merasa memang ia berbeda dengan teman-teman sebayanya. Ditambah ejekan temannya, bahwa ia lahir tanpa ayah. Sungguh beban mental yang sangat berat bagi anak seusianya.
”Ummu, Abu Luthfy mana? Kenapa tak pernah pulang?” Akhirnya ia mengungkapkan kegelisahan yang berkecamuk itu kepada Ummu-nya. Nisa terdiam sesaat. Dipandanginya anak satu-satunya itu dengan seksama. Sudah saatnya ia tahu kebenaran itu, hatinya membatin.
”Sayang, Abu Luthfy telah istirahat dengan tenang di tempat yang sangat indah. Luthfy mau ketemu Abu?”
”Iyaa, Ummu. Luthfy mau ketemu Abu terus bawa Abu pulang biar bisa Luthfy kenalin sama teman-teman Luthfy.”
Polos sekali kata-kata yang keluar dari anak usia lima tahun itu, sepolos hatinya yang masih putih tak bernoda. Nisa terhenyak. Di elusnya kepala Luthfy dengan lembut. Ia mulai bercerita tentang sebuah negeri legenda. Negeri para Mujahidin. Bumi para Nabi. Palestina. Ia pun bercerita tentang semangat perjuangan dalam membela sebuah kebenaran yang hakiki. Terkadang ceritanya terselip nada kebencian. Benci kepada kedzaliman. Benci yang mendarah daging terhadap zionis laknatullah. Luthfy menikmati alur cerita itu dengan sesekali bertanya. Ia tampak antusias.
“Sayang, di dalam darahmu mengalir darah yang mulia. Darah seorang pejuang yang syahid demi membela apa yang diyakininya.“
Cerita itu di tutup dengan apik oleh Nisa, menyelipkan sekuntum bangga dan semangat yang berkobar dalam hati Luthfy. Bangga karena tahu abu-nya adalah seorang pejuang kebenaran.
“Ummu, Luthfy ingin seperti Abu.“ Ucap Luthfy bersemangat. Hati Nisa berdesir halus. Ketegasan ucapan Luthfy mengingatkannya kepada sosok Mujahid yang sangat ia cintai, Ahmad. Cara Luthfy menyampaikan sesuatu begitu mirip suaminya. Tanpa terasa air matanya perlahan jatuh. Perjuangan ini baru dimulai, begitu bisik hatinya. Iyaa, perjuangan menjadikan Luthfy seperti apa yang diinginkan suaminya. Menjadi Singa Allah.
Hari berlalu, bulan berganti, dan tahun pun terlewati meninggalkan kenangan yang luar biasa. Luthfy semakin tumbuh besar. Kini usianya 21 tahun. Usia yang bagi yang lain adalah usia dimana sedang gencar-gencarnya mencari jati diri. Pusing tentang impian masa depan. Mencari kehidupan hedon yang menyesatkan berbalut kebahagiaan sesaat. Namun tidak untuk Luthfy.
Pagi itu, embun tak hendak beranjak dari pandangan mata. Setelah melenturkan otot dengan thifan-nya. Luthfy menemui Ummu-nya. Besok ia bersama kelima temannya akan berangkat ke Palestina, negeri impiannya.
”Ummu, berangkatnya besok.” Luthfy mengawali percakapan. Nisa tersenyum.
”Ummu tau, Nak. Berangkatlah dengan niat karena Allah.”
Luthfy tersenyum, dipeluknya ummu-nya itu dengan lembut. Dulu, ummu-nya lah yang memeluknya ketika ia membutuhkan ketenangan. Pelukkan ummu adalah penawar rasa takut yang mencekam. Rasa itu masih ada sampai sekarang. Pelukkan ummu masih nyaman dan akan selalu nyaman baginya.
”Ummu, jika aku tak kembali. Sesungguhnya Allah telah mempersiapkan pertemuan terindah untuk kita bersama Abu.”
Nisa menangis mendengar ucapan anaknya. Allah, sungguh jika bukan karena-Mu. Aku tak akan rela melepaskannya walau sekejap. Sekarang Ia menjadi milik-Mu, prajurit-Mu yang akan membela syariat-Mu. Aku serahkan ia kepada-Mu. Hatinya membatin, sesak namun damai. Damai karena ia telah bertransaksi kepada Robb-nya, Allah.
”Ummu meridhoi mu, Nak. Jadilah Singa Allah yang mengaum meluluhlantakkan kedzoliman. Ish kariman au mut syahidan.”
Perpisahan yang mengharukan. Namun inilah awal pertemuan yang membahagiakan.
***
Isaknya semakin menjadi. Memori itu masih jelas membayang. Surat itu di pegangnya erat. Ia terduduk. Tak mampu lagi membaca surat itu hingga akhir. Napasnya sesak. Sesak oleh kebahagiaan yang tidak terkira. Anak dan suaminya telah syahid, insyaallah. Pandangannya tiba-tiba gelap.
Bruukkk...
Tubuhnya ambruk ke lantai. Matanya perlahan terpejam. Hawa dingin menjalar cepat ke seluruh tubuhnya. Ia diam dan kaku.
Allah, tugasku telah usai. Lirihnya perlahan.
Komentar
Posting Komentar