Langsung ke konten utama

Syuhada Kecil, Anak ku

Malam semakin pekat. Dibalut dingin yang hampir-hampir membekukan sum-sum tulang. Sunyi. Hawa kematian masih menggelayut di langit kota. Gaza. Kota itu kini laksana kota mati. Hening tanpa suara berselimut bau anyir darah. Israel kembali melakukan aksi biadabnya. Bom-bom menukik tajam menghantam apa saja. Meluluhlantakkan gedung-gedung. Merenggut nyawa-nyawa kecil tak berdosa. Tumbang sebagai syuhada diiringi takbir keluarganya.

Di sebuah lorong yang sempit lagi pengap. Bertemankan cacing dan tikus. Bergelimangan genangan air bekas hujan. Gelap, tak ada cahaya. Dua sosok tubuh lemah duduk bersender di dinding lorong. Saling berpelukkan. Napasnya tersengal ketakutan. Badan keduanya menggigil tersengat dinginnya angin malam. Sangat kontras dengan kehidupan di bumi lain yang sedang nikmat tidur di kasur yang empuk. Bantal permadani. Berselimut mimpi. Indah. Di sini, tanah yang tergenang itulah sebagai alas tidur. Bantal mereka adalah tangan-tangan yang penuh luka. Mimpi mereka adalah ketakutan. Ingin rasanya segera beringsut dari mimpi itu. Namun, ternyata dalam sadar pun tetap sama saja.

Kedua sosok itu adalah Ummu Sulaiman dan anaknya yang berumur 5 tahun. Tak kurang 8 jam mereka menunggui lorong sempit itu. Sejak maghrib. Hampir semalaman. Ummu Sulaiman terus memeluk anaknya erat. Sesekali Ia mengganti balutan luka di kaki Sulaiman dengan robekan kain dari pakaian yang dikenakannya. Bermaksud menghentikan darah. Meski semua itu terlihat sia-sia. Darah di kaki itu tetap saja mengalir. Merembes, memerahkan kain balutan.
Sulaiman hanya diam. Tak sedikit pun ia mengerang sakit. Lemah. Darahnya sudah terlalu banyak mengalir. Perlahan Ia mendekati ibunya. Memegang wajah wanita separuh baya itu. Tangannya bergerak menghapus air mata sang bunda.

”Ibu, jangan menagis.” Pintanya lemah. Wajah Ummu Sulaiman terangkat. Lekat-lekat dipandangi wajah pucat anaknya. Ada senyum yang hampir memudar.

”Bukankah Ibu pernah bilang, Allah selalu membantu kita? Sulaiman yakin, Dia tidak tidur. Dia sedang melihat kita. Kita hanya perlu sedikit lagi bersabar.”

Deg. Kata-kata itu mengena tepat dihatinya. Betulkah ini kalimat yang keluar dari bocah berusia 5 tahun? Ummu Sulaiman kembali mendekap anaknya. Allah, ku tahu janji-Mu pasti. Lirihnya.

Waktu berjalan terasa lambat. Dipegangnya tangan Sulaiman. Semakin dingin.
”Anak ku, bertahanlah. Ibu yakin Sulaiman anak yang kuat.” Desahnya pelan ditelinga anaknya. Sulaiman tersenyum. Semakin dingin dan pucat.

”Ibu, tolong ceritakan padaku tentang syurga.” Ummu Sulaiman tak hendak menolak permintaan anaknya. Ia mulai bercerita tentang syurga. Tempat tujuan semua makhluk-Nya.

”Syurga. Tiada kesedihan di dalamnya, yang ada hanyalah kesenangan dan kenikmatan.”

Ia terdiam sesaat. Mengatur napas. Sebelum kembali menggambarkan syurga. Sulaiman diam. Menyimak cerita ibunya dengan sisa-sisa kesadarannya.

“Ibu, apakah di syurga Sulaiman akan bertemu Ayah?”
Ummu Sulaiman tercekat mendengar pertanyaan anaknya. Ia menarik napas panjang. Dadanya bergetar hebat. Dengan sisa-sisa kekuatannya, Ia menjawab lirih. Iya.
Sulaiman kembali tersenyum. Kini senyumnya merona. Bahagia.

”Teruslah bercerita, Bu.” Kembali Ia meminta. Ummu Sulaiman pasrah. Ia menuruti kehendak anaknya. Walau pikirannya sudah tidak fokus lagi.

“Di dalam syurga terdapat pohon-pohon dan buah-buahan yang mampu dipetik dari jarak dekat. Sungai-sungai yang mengalir indah.”
Ummu Sulaiman tak melanjutkan ceritanya. Hening.
"Sayang, sudah tidurkah?" Tanyanya perlahan.
Tak ada jawaban. Dipegangnya tubuh Sulaiman. Dingin. Perasaan tak sedap langsung menyeruak. Tanganya bergetar. Ia raba dada anaknya. Memegang pergelangan tangan. Mencari denyut jantung. Tidak Ia temukan. Ia tak putus asa. Digoncangnya tubuh Sulaiman.

“Anak ku, Sulaiman dengar Ibu? Bangun, Nak.” Suaranya tertahan, hampir tak terdengar. Ia kembali meraba dada anaknya. Mencari detak-detak kehidupan.
”Aaah, tidak Sulaiman. Ibu yakin kau dengar Ibu. Ayoo, bangun, Nak. Ibu belum selesai menceritakan syurga.“
Sia-sia. Tubuh kecil itu telah kaku. Berhias senyum yang indah, seakan deritanya telah sirna.
Mata Ummu Sulaiman berkaca-kaca. Namun Ia tahan-tahan. Ia tak mau menangis. Anaknya tak menginginkan Ia menangis.

Di tempat lain, Sulaiman memandangi ibunya. Maafkan Sulaiman Bu, Sulaiman ingin bertemu ayah di syurga.
”Duhai malaikat, bersediakah kalian mengantarkan ku menemui Ayah?”

=Selesai=
Desember 1987- 2010, INTIFADHA. Perjuangan kita belum usai kawan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cukup Ar-Rahman mu menjadi Mahar ku

Mengapa harus Ar-Rahman? Pikiran Ahmad melalang buana mencari kira-kira jawabannya. Ar-Rahman adalah syarat hapalan yang harus ia penuhi bila hendak melamar Aisha, seorang gadis anak salah satu ustad di desa ujung ibu kota. Itu permintaan Aisha. Begitu Ustad Amir, ayah Aisha, menerangkan. Bila memang Nak Ahmad berkenan, kini giliran ibu Aisha yang angkat bicara, datanglah lagi ke sini dua minggu lagi untuk menyetor hapalannya. Namun bila Nak Ahmad tidak datang kesini pada hari yang sudah ditentukan, maka kami anggap Nak Ahmad tidak menerimanya syarat itu. Ahmad hanya tersenyum gamang mendengar permintaan yang aneh menurutnya itu. Ada-ada saja keluarga ini. Gerutunya dalam hati. Setelah mengiyakan, ia pamit pulang. Rasanya tak betah lama-lama dalam suasana yang kaku seperti itu. Ahmad masih berpikir sambil menyetir mobilnya. Kendaraan roda empat berwarna silver itu melaju dengan kecepatan sedang. Menerobos rintik-rintik hujan yang kian menderas. Membawanya kembali ke gemerlapnya ibu ko...

Sadarlah Duhai MAkhluk Bernama Manusia

Dia hanya menggertak. Belum semarah Krakatau di masa lampau. Namun manusia telah luluh-lantak dibuatnya. Merapi, satu makhluk diantara ribuan milyar makhluk-Nya. Namun mampu membuat manusia tak berdaya dibuatnya. Air laut Mentawai menggeliat. Pesisir habis terkikis. Walau tak sehebat geliat saudaranya di negeri serambi mekah Namun tetap, manusia luluh-lantak dibuatnya. Tsunami, hanya riak kecil makhluk-Nya. Namun kembali manusia tanpa daya dibuatnya. Manusia, adakah kau mau memahaminya? Engkau hanyalah makhluk LEMAH tanpa daya. Namun kesombonganmu di atas takdirmu sebagai manusia. Berjalan mu membusungkan dada. Engkau lupa, bahwa engkau hanya makhluk hina yang akan kembali ke tanah. Sadarlah. Cukup sudah alam menunjukkan kebencian terhadap arogan mu. Cukup sudah alam muak dengan sikap mu. Saatnya kembali. Tugas mu hanya mengabdi bukan malah semakin menjadi-jadi. Ingat asal mu, ingat tempat kembali mu.

Sepucuk Rindu untuk Ramadhan-Mu

Tak terasa dua puluh hari telah berlalu. Sangat cepat. Aku seperti ketinggalan kereta mengajar pesonamu. Kau seperti seorang putri yang diperebutkan berjuta pangeran tampan. Walaupun tetap tidak adil aku mengibaratkanmu seperti itu. Maafkan aku, karena aku tak mampu lagi mengibaratkan selain itu. Kau begitu indah. Begitu sempurna. Di saat kau datang, pintu-pintu neraka tertutup dan pintu-pintu syurga dibuka. Pahala menjadi berlipat ganda. Pengampunan tersebar luas. Mampukah aku beremu denganmu tahun depan? Itulah yang aku pikirkan ketika akan, sedang, dan telah bertemu denganmu. Kini, di sepuluh terakhirmu, kau tampak semakin indah. Apa karena pesona seribu bulan di satu malammu  yang kini masih misteri? Kau tahu? Semua orang sedang mengincarmu. Aah, kau pasti tahu itu. Ramadhan. Aku merindukanmu. Dan kan selalu merindukanmu.