Langsung ke konten utama

Dunia Akhir Zaman

Perjalanan menuju Palembang memakan waktu lebih kurang 2jam. Selama perjalanan tak banyak yang dapat dilakukan kecuali menatap sepanjang jalan yang seolah-olah pergi say good bye oleh hamparan padang yang tak termanfaatkan. Sayang sekali. Seandainya saja jika yang terhampar adalah padi atau tumbuhan bermanfaat lainnya. Hmmm, dapat dibayangkan semakmur apa daerahku. Sebenarnya ini tak hanya akan menjadi khayalan, jika pemerintah turun tangan. Tapi yaaa gitu dech, tak mampu menerobos pikiran para petinggi ku. Ntah apa yang mereka pikirkan. Terlalu sibuk dengan meeting yang tak penting, travelling dengan alasan studi banding. Atau malah sibuk memperkaya diri sendiri kah??? Masa bodo yang penting gue makmurkah??? Punya prinsip “gue2 lo2” kah??? Haayaiiiyaah, memperbanyak dosa ku saja jika terus dipikirkan. [tuing gubraks, sama aja ente kayak mereka kalo pikiran na kayak gitu kali :p]
Sampai di pusat kota, kesombongan pencakar langit menampakkan egonya. Sliweran hilir mudik kijang pribadi yang kadang hanya tampak supirnya saja menambah pengap suasana kota. Hhuufp. Tampak lain di sudut bis penumpang, seorang anak memegang gitar tuanya dan mulai menyanyikann lagu yang belum sepantasnya ia nyanyikan. Ku taksir usianya sekitar 10-12 tahun, usia sekolah. Usia yang seharusnya digunakan untuk belajar dan bermain yang sesuai dengan usianya. Tapi mereka??? Untunglah hari itu hari libur, semoga saja hanya sebagai usaha sampingan setelah sekolah, yaa semoga. Lain lagi di ujung jembatan itu, seorang bapak tua menengadahkan tangannya untuk mengharap uluran rizki orang yang berlalu di depannya. Padahal sabda nabi, tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah. Heei, mereka tak peduli lagi dengan hadist atau apalah namanya, walaupun tau mereka seolah tak mau tau, tuntutan perut mengalahkan semuanya. Inna lillahi...
Bagai langit dan bumi penampakannya. Berbeda sekali. Tak tahu kapan ini akan berakhir. Zaman keemasan, kapankah datangnya?? Imam Mahdi, sosok mu selalu dinanti, dirindukan semua orang yang menginginkan perubahan. Namun, apakah Kita hanya akan menunggu datangnya hari itu ataukah kita sendiri yang bergerak menjadi imam mahdi- imam mahdi kecil yang membawa perubahan umat??? Hanya dirimu yang mampu menjawabnya. Dan jika ingin bergerak, inilah saatnya! Walau hanya mempersiapkan diri sendiri menjadi lebih baik sesuai dengan tuntunan syari’at dan fastabiqul khoirot semampu kita, Allahu Akbar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cukup Ar-Rahman mu menjadi Mahar ku

Mengapa harus Ar-Rahman? Pikiran Ahmad melalang buana mencari kira-kira jawabannya. Ar-Rahman adalah syarat hapalan yang harus ia penuhi bila hendak melamar Aisha, seorang gadis anak salah satu ustad di desa ujung ibu kota. Itu permintaan Aisha. Begitu Ustad Amir, ayah Aisha, menerangkan. Bila memang Nak Ahmad berkenan, kini giliran ibu Aisha yang angkat bicara, datanglah lagi ke sini dua minggu lagi untuk menyetor hapalannya. Namun bila Nak Ahmad tidak datang kesini pada hari yang sudah ditentukan, maka kami anggap Nak Ahmad tidak menerimanya syarat itu. Ahmad hanya tersenyum gamang mendengar permintaan yang aneh menurutnya itu. Ada-ada saja keluarga ini. Gerutunya dalam hati. Setelah mengiyakan, ia pamit pulang. Rasanya tak betah lama-lama dalam suasana yang kaku seperti itu. Ahmad masih berpikir sambil menyetir mobilnya. Kendaraan roda empat berwarna silver itu melaju dengan kecepatan sedang. Menerobos rintik-rintik hujan yang kian menderas. Membawanya kembali ke gemerlapnya ibu ko...

Sadarlah Duhai MAkhluk Bernama Manusia

Dia hanya menggertak. Belum semarah Krakatau di masa lampau. Namun manusia telah luluh-lantak dibuatnya. Merapi, satu makhluk diantara ribuan milyar makhluk-Nya. Namun mampu membuat manusia tak berdaya dibuatnya. Air laut Mentawai menggeliat. Pesisir habis terkikis. Walau tak sehebat geliat saudaranya di negeri serambi mekah Namun tetap, manusia luluh-lantak dibuatnya. Tsunami, hanya riak kecil makhluk-Nya. Namun kembali manusia tanpa daya dibuatnya. Manusia, adakah kau mau memahaminya? Engkau hanyalah makhluk LEMAH tanpa daya. Namun kesombonganmu di atas takdirmu sebagai manusia. Berjalan mu membusungkan dada. Engkau lupa, bahwa engkau hanya makhluk hina yang akan kembali ke tanah. Sadarlah. Cukup sudah alam menunjukkan kebencian terhadap arogan mu. Cukup sudah alam muak dengan sikap mu. Saatnya kembali. Tugas mu hanya mengabdi bukan malah semakin menjadi-jadi. Ingat asal mu, ingat tempat kembali mu.

Sepucuk Rindu untuk Ramadhan-Mu

Tak terasa dua puluh hari telah berlalu. Sangat cepat. Aku seperti ketinggalan kereta mengajar pesonamu. Kau seperti seorang putri yang diperebutkan berjuta pangeran tampan. Walaupun tetap tidak adil aku mengibaratkanmu seperti itu. Maafkan aku, karena aku tak mampu lagi mengibaratkan selain itu. Kau begitu indah. Begitu sempurna. Di saat kau datang, pintu-pintu neraka tertutup dan pintu-pintu syurga dibuka. Pahala menjadi berlipat ganda. Pengampunan tersebar luas. Mampukah aku beremu denganmu tahun depan? Itulah yang aku pikirkan ketika akan, sedang, dan telah bertemu denganmu. Kini, di sepuluh terakhirmu, kau tampak semakin indah. Apa karena pesona seribu bulan di satu malammu  yang kini masih misteri? Kau tahu? Semua orang sedang mengincarmu. Aah, kau pasti tahu itu. Ramadhan. Aku merindukanmu. Dan kan selalu merindukanmu.