Dunia serasa hanya aku dan dia yang memilikinya.
Dengan keindahanya, bisa mebuat manusia serasa menjadi makhluk yang paling bahagia di alamnya.
Sedih menjadi cita.
Duka menjadi gembira.
Begitulah rasa orang yang sedang jatuh cinta.
Tapi itu tak berlaku pada ku, cinta bagai monster yang menakutkan yang ingin ku jauhi sejauh-jauhnya.
Ada rasa traumatik bertengger di memori hati ku.
Semuanya berawal dari pertemuanku dengan nya secara tak sengaja, dia datang dengan tiba-tiba membawa rasa yang membuat hati berbeda dalam memandangnya.
Tak dielakkan lagi, cinta bersemi di taman hati menumbuhkan kuncup bunga kebahagiaan. Gayung bersambut, dia pun mencintaiku. Aah, alangkah bahagianya.
Tapi kebahagiaan itu tak abadi, Tuhan mengambil cintaku di saat aku benar-benar cinta dan sayang padanya. Bagaimana rasanya?? Jangan ditanya, aku terpuruk. Benar-benar terpuruk. Semua hidup yang kujalani serasa hampa. Aku menangis seharian, dua hari, tiga hari, entah aku tak tahu lagi. Setiap ku ingat dia yang bisa kulakukan hanyalah menangis. Pikiran ku sempit, serasa aku makhluk yang paling berduka saat itu. Bagaimana dengan dia?? Mungkin dia juga merasa seperti apa yang aku rasa. Entah, aku tak tahu.
Aku berusaha tabah, jika memang jodoh dia akan kembali padaku begitu pikirku. Tapi aku adalah makhluk lemah selemah hati sangat kehilangannya. Apalagi ketika dia bersikap acuh padaku, dan perlahan menjauh. Tak tahu kenapa? Apa karena memang dia ingin menjaga hatinya atau memang dia tidak mencintaiku lagi.
Sakit.... Sakit sekali rasanya.....
Tapi buat apa aku bertanya, dia bukan milikku lagi. Dia telah terlepas dari ku. Walau hati masih begitu mengharapkannya.
Kadang, dalam kesendirian tangisan ku. Aku selalu membodoh-bodohkan diri sendiri, iyaa, alangkah bodohnya aku dengan ujian cinta ini. Bodoh karena harus terlena dengan derita tiada akhir nya sebuah cinta. Bukankah aku bisa mencari lagi? Masih banyak yang mau dengan ku. Bahkan ada yang mau langsung mengkhitbah ku dan mengajak menikah. Aku hanya tinggal pilih saja.
Begitulah pikiran egois meracuniku.
Tapi sayangnya, itu tidak mudah.
Aku bukan tipe orang yang mudah jatuh cinta.
Sudah... Sudahlah... Kubur cinta mu dalam-dalam.
Hapus dia dari memori hati mu.
LUPAKAN SAJA.
Aku menyerah.
Namun, ketika niat itu menghujam dalam aliran darah ku, dia secara tak terduga menyapa lagi. Mungkin maksudnya hanyalah agar silaturahim kami tak putus, tapi apakah dia tahu jika perbuatannya itu menghadirkan kembali harapan hampa itu? Apakah dia tahu, itu hanya menyayat lagi luka itu?? Aku tak menyalahkannya, karena memang ini bukan salahnya, perasaan ku lah yang salah. Aku seakan-akan dipermainkan oleh hati ku sendiri. Aku selalu terbawa hanyut suasana hati ku. Dan saat aku tersadar, Aku pun kembali menangis, terjatuh lagi, sakit sekali.
”Baiklah, sekarang aku yang akan menjauh dari mu. Aku yang akan mengacuhkan mu. Maafkan aku, ini ku lakukan hanya untuk mengubur perasaanku pada mu. Silaturahim kita, aku tak peduli jika harus memutuskan tali ukhuwah itu. Karena jika aku masih berkomunikasi dengan mu, perasaan itu akan tetap ada. Akan selalu ada.”
Bulan berlalu, enam bulan sejak peristiwa itu.
Komunikasi dengan nya semakin jarang hanya sesekali saja, atau bahkan mungkin akan terputus. Jika dia mendekat, aku yang menjauh. Aku tak mau terbawa emosi hati lagi.
Mungkin dia bertanya-tanya dengan sikapku yang kekanak-kanakan. Aku tak peduli.
***
Aku harus memulai lembaran baru kehidupan ku. Kisah cinta ku tak akan berakhir sampai di sini saja, ada hari esok yang cerah telah menanti. Dan semilir angin baru pun menyapa ketika dia hadir, sosok baru dalam kehidupan ku. Soleh, sabar, dan lembut, itu sifatnya yang mampu mengalihkan perhatian ku.
Waktu begitu cepat berjalan, dia mengajak ku menikah. Aku hanya tertawa menanggapi ajakannya. Aku tak tahu apa yang harus ku lakukan, tapi ku tahu aku tak mungkin terus terdiam meratapi masa silam ku.
Tuhan, Apakah Engkau menghadirkan dia untuk mengganti posisinya di hati ku?
”Tak usah di jawab sekarang. Pikirkanlah dulu baik-baik, menikah bukan perkara yang mudah. Tapi menikah adalah penyatuan jiwa seumur hidup bahkan hidup sesudah mati. Perlu pemantapan hati dan jiwa agar tak menyesal kemudian” begitu katanya di suatu hari.
”Iya” jawab ku singkat.
Dia tersenyum.
”Kakak akan tunggu jawaban ade. Dan apapun nanti jawabannya kakak ikhlas”
Ku jawab hanya dengan senyuman.
Allah, jika memang dialah jodoh ku. Dekatkanlah. Permudahkanlah. Mantapkanlah hati ku.
Amiin...
***
”Kakak, aku mau menikah dengan kakak”
Begitulah jawaban ku akhirnya. Dia tersenyum dan mengucapkan tahmid.
”Alhamdulillah, minggu depan kakak akan melamar ade”
”Tapi kak. Sejujurnya tak ada rasa suka dalam hati adzkiya”
”Jadi?”
”Adzkiya menikah dengan kakak hanya melihat iman yang ada dalam hati kakak.”
”Tak mengapa, cinta itu butuh proses, jika kita semakin lama bersama nanti. insyaAllah cinta itu akan hadir. Kakak akan menunggu itu”
”Kakak tak keberatan?” dia tersenyum dan menggeleng.
”Iyaa, Adzkiya juga akan berusaha belajar mencintai kakak.” jawabku tersenyum.
Dia mengiyakan.
Kami pun menikah. Walimah ’urs nya di buat sangat meriah. Dia memang seorang eksekutif muda yang kaya. Tapi kekayaannya tak membuat dia hanya sibuk mengurusi dunianya. Setelah menikah, kami langsung pindah ke rumah miliknya.
Rumah besar berlantai dua serasa semakin luas karena hanya aku dan dia yang menempatinya.
Dia mengajak ku ke kamar di lantai atas.
”De, ini kamar mu”
”Maksud kakak?”
”Sementara kita tidur terpisah sampai nanti ade menyukai kakak. Karena kakak tak mau ade terpaksa melayani kakak.”
”Tapi kakak, kita sudah menikah. Sekarang adzkiya adalah istri kakak. Kakak punya hak atas diri adzkiya”
”Karena Adzkiya istri kakaklah, kakak melakukan ini. Kakak ingin menjaga hati mu De”
Aku tersenyum. Sungguh benar-benar ku takjub dengan sikapnya.
”Kakak, makasih yaa. Adzkiya yakin ini tak akan lama”
”Iyaa, De. Kakak juga yakin. Sekarang tidurlah. Hari sudah malam. Kalau ada apa-apa kakak ada di kamar sebelah. Pintu kamar kakak nggak dikunci”
”Iyaa”
”Hmm, kalau cuma mencium kening boleh kan?”
Aku tersenyum dan mengangguk.
Begitulah, dia suami ku yang sangat menjaga hati dan perasaan ku.
***
Pagi menjelang. Adzan subuh berkumandang. Pintu kamar ku di ketok.
”Assalamualaikum. De, sudah bangun kah? Shalat subuh gih” itu katanya sambil mengetok pintu kamar ku perlahan.
Ku buka pintu, dia berdiri dengan baju koko warna putihnya dan tersenyum. Ku balas senyumannya. Aku baru sadar ternyata senyumannya manis sekali. Hati ku berdegup tak tentu.
Segera ku menunduk.
”Mas ke masjid dulu ya”
”Iyaa” jawabku singkat, tak mau kelihatan sikap gugup ku.
Kemudian dia turun ke bawah, ku lihat dari atas.
Hampir satu bulan kami menikah. Sikapnya sangat santun, dan penuh perhatian.
Dalam bekerja, dia selalu berusaha pulang lebih awal. Kasian aku sendirian di rumah, begitu alasannya.
Dia tak pernah makan di luar, sesempat mungkin dia pulang ke rumah hanya untuk makan saja. Dia selalu bilang masakan ku yang paling enak, padahal tak jarang sering keasinan. Aku pun tak pernah kesepian. Tingkahnya yang suka melucu membuatku selalu tertawa. Aku sering tersenyum sendiri ketika membayangkannya.
Dan tanpa ku sadari, kuncup-kuncup cinta bersemi di hati ku. Ada rasa rindu ketika sebentar saja dia pergi.
Mungkinkah aku telah jatuh cinta kepadanya, suamiku.
Hari ini suami ku pulang habis maghrib, katanya memberi tahu. Aku telah mempersiapkan kepulangannya. Aku telah memasak makanan kesukaannya. Dan aku pun telah berhias diri untuk menyambut kedatangannya. Hari ini aku akan menyatakan cintaku pada suami ku, begitulah kataku dengan mantap.
Jam menunjukkan pukul 07.00 tepat ketika suara telpon seluler ku berdering. Suamiku calling.
”Assalamualakum, kakak”
”Wa’alaikumussalam. Maaf mbak kami dari kepolisian. Ini benar saudari Adzkiya, istri dari Pak Firdaus?”
”Ooo, maaf ya pak. Iyaa, benar. Da apa yaa?” tanya ku gugup. Perasaanku langsung tak enak.
”Suami Anda kecelakaan. Dia meninggal di tempat.”
Aku langsung shock mendengarnya.
Innalillahi wainna ilaihi rojiun.
Aku terhenyak. Tubuh ku bergetar menahan sesak.
Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, aku bertanya di mana sekarang suami ku.
Polisi itu menunjukkan salah satu rumah sakit di kota itu. Ku ambil jilbab ku, terus melaju menuju rumah sakit yang diberitahukan.
Dalam perjalanan air mataku tak berhenti menetes, ada rasa tak percaya. Tak mungkin suami ku pergi secepat itu. Tidak mungkin.
Di rumah sakit, ku langsung menanyakan di mana ruangan suami ku. seorang perawat mengantarkan ku. Sampai di sebuah ruangan, ku melihat sesosok tubuh terbujur kaku yang di tutupi kain putih. Bercak darah menempel di kain itu.
Ku dekati suami ku, ku cium keningnyanyang mulai dingin. Air mata ku terus mengalir.
”Suamiku, kau dengar aku. Bangun lah, aku telah memasak makanan kesukaan mu. Aku juga ingin mengatakan sesuatu kepada mu yang telah lama kau tunggu-tunggu. Bangunlah suamiku.”
”Suamiku, aku mencintai mu. Bangunlah”
Aku tak kuat lagi.
Allahu Robbi, tiba-tiba semua jadi gelap.
Allah, mengapa Engkau kembali mengambil cinta ku?
Suami ku belum tahu, bahwa aku mencintainya.
Tak adakah Engkau beri aku kesempatan untuk berbakti kepadanya sebagai istri yang mencintai suaminya?
***
Dengan keindahanya, bisa mebuat manusia serasa menjadi makhluk yang paling bahagia di alamnya.
Sedih menjadi cita.
Duka menjadi gembira.
Begitulah rasa orang yang sedang jatuh cinta.
Tapi itu tak berlaku pada ku, cinta bagai monster yang menakutkan yang ingin ku jauhi sejauh-jauhnya.
Ada rasa traumatik bertengger di memori hati ku.
Semuanya berawal dari pertemuanku dengan nya secara tak sengaja, dia datang dengan tiba-tiba membawa rasa yang membuat hati berbeda dalam memandangnya.
Tak dielakkan lagi, cinta bersemi di taman hati menumbuhkan kuncup bunga kebahagiaan. Gayung bersambut, dia pun mencintaiku. Aah, alangkah bahagianya.
Tapi kebahagiaan itu tak abadi, Tuhan mengambil cintaku di saat aku benar-benar cinta dan sayang padanya. Bagaimana rasanya?? Jangan ditanya, aku terpuruk. Benar-benar terpuruk. Semua hidup yang kujalani serasa hampa. Aku menangis seharian, dua hari, tiga hari, entah aku tak tahu lagi. Setiap ku ingat dia yang bisa kulakukan hanyalah menangis. Pikiran ku sempit, serasa aku makhluk yang paling berduka saat itu. Bagaimana dengan dia?? Mungkin dia juga merasa seperti apa yang aku rasa. Entah, aku tak tahu.
Aku berusaha tabah, jika memang jodoh dia akan kembali padaku begitu pikirku. Tapi aku adalah makhluk lemah selemah hati sangat kehilangannya. Apalagi ketika dia bersikap acuh padaku, dan perlahan menjauh. Tak tahu kenapa? Apa karena memang dia ingin menjaga hatinya atau memang dia tidak mencintaiku lagi.
Sakit.... Sakit sekali rasanya.....
Tapi buat apa aku bertanya, dia bukan milikku lagi. Dia telah terlepas dari ku. Walau hati masih begitu mengharapkannya.
Kadang, dalam kesendirian tangisan ku. Aku selalu membodoh-bodohkan diri sendiri, iyaa, alangkah bodohnya aku dengan ujian cinta ini. Bodoh karena harus terlena dengan derita tiada akhir nya sebuah cinta. Bukankah aku bisa mencari lagi? Masih banyak yang mau dengan ku. Bahkan ada yang mau langsung mengkhitbah ku dan mengajak menikah. Aku hanya tinggal pilih saja.
Begitulah pikiran egois meracuniku.
Tapi sayangnya, itu tidak mudah.
Aku bukan tipe orang yang mudah jatuh cinta.
Sudah... Sudahlah... Kubur cinta mu dalam-dalam.
Hapus dia dari memori hati mu.
LUPAKAN SAJA.
Aku menyerah.
Namun, ketika niat itu menghujam dalam aliran darah ku, dia secara tak terduga menyapa lagi. Mungkin maksudnya hanyalah agar silaturahim kami tak putus, tapi apakah dia tahu jika perbuatannya itu menghadirkan kembali harapan hampa itu? Apakah dia tahu, itu hanya menyayat lagi luka itu?? Aku tak menyalahkannya, karena memang ini bukan salahnya, perasaan ku lah yang salah. Aku seakan-akan dipermainkan oleh hati ku sendiri. Aku selalu terbawa hanyut suasana hati ku. Dan saat aku tersadar, Aku pun kembali menangis, terjatuh lagi, sakit sekali.
”Baiklah, sekarang aku yang akan menjauh dari mu. Aku yang akan mengacuhkan mu. Maafkan aku, ini ku lakukan hanya untuk mengubur perasaanku pada mu. Silaturahim kita, aku tak peduli jika harus memutuskan tali ukhuwah itu. Karena jika aku masih berkomunikasi dengan mu, perasaan itu akan tetap ada. Akan selalu ada.”
Bulan berlalu, enam bulan sejak peristiwa itu.
Komunikasi dengan nya semakin jarang hanya sesekali saja, atau bahkan mungkin akan terputus. Jika dia mendekat, aku yang menjauh. Aku tak mau terbawa emosi hati lagi.
Mungkin dia bertanya-tanya dengan sikapku yang kekanak-kanakan. Aku tak peduli.
***
Aku harus memulai lembaran baru kehidupan ku. Kisah cinta ku tak akan berakhir sampai di sini saja, ada hari esok yang cerah telah menanti. Dan semilir angin baru pun menyapa ketika dia hadir, sosok baru dalam kehidupan ku. Soleh, sabar, dan lembut, itu sifatnya yang mampu mengalihkan perhatian ku.
Waktu begitu cepat berjalan, dia mengajak ku menikah. Aku hanya tertawa menanggapi ajakannya. Aku tak tahu apa yang harus ku lakukan, tapi ku tahu aku tak mungkin terus terdiam meratapi masa silam ku.
Tuhan, Apakah Engkau menghadirkan dia untuk mengganti posisinya di hati ku?
”Tak usah di jawab sekarang. Pikirkanlah dulu baik-baik, menikah bukan perkara yang mudah. Tapi menikah adalah penyatuan jiwa seumur hidup bahkan hidup sesudah mati. Perlu pemantapan hati dan jiwa agar tak menyesal kemudian” begitu katanya di suatu hari.
”Iya” jawab ku singkat.
Dia tersenyum.
”Kakak akan tunggu jawaban ade. Dan apapun nanti jawabannya kakak ikhlas”
Ku jawab hanya dengan senyuman.
Allah, jika memang dialah jodoh ku. Dekatkanlah. Permudahkanlah. Mantapkanlah hati ku.
Amiin...
***
”Kakak, aku mau menikah dengan kakak”
Begitulah jawaban ku akhirnya. Dia tersenyum dan mengucapkan tahmid.
”Alhamdulillah, minggu depan kakak akan melamar ade”
”Tapi kak. Sejujurnya tak ada rasa suka dalam hati adzkiya”
”Jadi?”
”Adzkiya menikah dengan kakak hanya melihat iman yang ada dalam hati kakak.”
”Tak mengapa, cinta itu butuh proses, jika kita semakin lama bersama nanti. insyaAllah cinta itu akan hadir. Kakak akan menunggu itu”
”Kakak tak keberatan?” dia tersenyum dan menggeleng.
”Iyaa, Adzkiya juga akan berusaha belajar mencintai kakak.” jawabku tersenyum.
Dia mengiyakan.
Kami pun menikah. Walimah ’urs nya di buat sangat meriah. Dia memang seorang eksekutif muda yang kaya. Tapi kekayaannya tak membuat dia hanya sibuk mengurusi dunianya. Setelah menikah, kami langsung pindah ke rumah miliknya.
Rumah besar berlantai dua serasa semakin luas karena hanya aku dan dia yang menempatinya.
Dia mengajak ku ke kamar di lantai atas.
”De, ini kamar mu”
”Maksud kakak?”
”Sementara kita tidur terpisah sampai nanti ade menyukai kakak. Karena kakak tak mau ade terpaksa melayani kakak.”
”Tapi kakak, kita sudah menikah. Sekarang adzkiya adalah istri kakak. Kakak punya hak atas diri adzkiya”
”Karena Adzkiya istri kakaklah, kakak melakukan ini. Kakak ingin menjaga hati mu De”
Aku tersenyum. Sungguh benar-benar ku takjub dengan sikapnya.
”Kakak, makasih yaa. Adzkiya yakin ini tak akan lama”
”Iyaa, De. Kakak juga yakin. Sekarang tidurlah. Hari sudah malam. Kalau ada apa-apa kakak ada di kamar sebelah. Pintu kamar kakak nggak dikunci”
”Iyaa”
”Hmm, kalau cuma mencium kening boleh kan?”
Aku tersenyum dan mengangguk.
Begitulah, dia suami ku yang sangat menjaga hati dan perasaan ku.
***
Pagi menjelang. Adzan subuh berkumandang. Pintu kamar ku di ketok.
”Assalamualaikum. De, sudah bangun kah? Shalat subuh gih” itu katanya sambil mengetok pintu kamar ku perlahan.
Ku buka pintu, dia berdiri dengan baju koko warna putihnya dan tersenyum. Ku balas senyumannya. Aku baru sadar ternyata senyumannya manis sekali. Hati ku berdegup tak tentu.
Segera ku menunduk.
”Mas ke masjid dulu ya”
”Iyaa” jawabku singkat, tak mau kelihatan sikap gugup ku.
Kemudian dia turun ke bawah, ku lihat dari atas.
Hampir satu bulan kami menikah. Sikapnya sangat santun, dan penuh perhatian.
Dalam bekerja, dia selalu berusaha pulang lebih awal. Kasian aku sendirian di rumah, begitu alasannya.
Dia tak pernah makan di luar, sesempat mungkin dia pulang ke rumah hanya untuk makan saja. Dia selalu bilang masakan ku yang paling enak, padahal tak jarang sering keasinan. Aku pun tak pernah kesepian. Tingkahnya yang suka melucu membuatku selalu tertawa. Aku sering tersenyum sendiri ketika membayangkannya.
Dan tanpa ku sadari, kuncup-kuncup cinta bersemi di hati ku. Ada rasa rindu ketika sebentar saja dia pergi.
Mungkinkah aku telah jatuh cinta kepadanya, suamiku.
Hari ini suami ku pulang habis maghrib, katanya memberi tahu. Aku telah mempersiapkan kepulangannya. Aku telah memasak makanan kesukaannya. Dan aku pun telah berhias diri untuk menyambut kedatangannya. Hari ini aku akan menyatakan cintaku pada suami ku, begitulah kataku dengan mantap.
Jam menunjukkan pukul 07.00 tepat ketika suara telpon seluler ku berdering. Suamiku calling.
”Assalamualakum, kakak”
”Wa’alaikumussalam. Maaf mbak kami dari kepolisian. Ini benar saudari Adzkiya, istri dari Pak Firdaus?”
”Ooo, maaf ya pak. Iyaa, benar. Da apa yaa?” tanya ku gugup. Perasaanku langsung tak enak.
”Suami Anda kecelakaan. Dia meninggal di tempat.”
Aku langsung shock mendengarnya.
Innalillahi wainna ilaihi rojiun.
Aku terhenyak. Tubuh ku bergetar menahan sesak.
Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, aku bertanya di mana sekarang suami ku.
Polisi itu menunjukkan salah satu rumah sakit di kota itu. Ku ambil jilbab ku, terus melaju menuju rumah sakit yang diberitahukan.
Dalam perjalanan air mataku tak berhenti menetes, ada rasa tak percaya. Tak mungkin suami ku pergi secepat itu. Tidak mungkin.
Di rumah sakit, ku langsung menanyakan di mana ruangan suami ku. seorang perawat mengantarkan ku. Sampai di sebuah ruangan, ku melihat sesosok tubuh terbujur kaku yang di tutupi kain putih. Bercak darah menempel di kain itu.
Ku dekati suami ku, ku cium keningnyanyang mulai dingin. Air mata ku terus mengalir.
”Suamiku, kau dengar aku. Bangun lah, aku telah memasak makanan kesukaan mu. Aku juga ingin mengatakan sesuatu kepada mu yang telah lama kau tunggu-tunggu. Bangunlah suamiku.”
”Suamiku, aku mencintai mu. Bangunlah”
Aku tak kuat lagi.
Allahu Robbi, tiba-tiba semua jadi gelap.
Allah, mengapa Engkau kembali mengambil cinta ku?
Suami ku belum tahu, bahwa aku mencintainya.
Tak adakah Engkau beri aku kesempatan untuk berbakti kepadanya sebagai istri yang mencintai suaminya?
***
Komentar
Posting Komentar