Langsung ke konten utama

Ketika Cintaku Harus Terbagi

Malam ini sangat dingin, di luar hujan turun sejak sore tadi, petir menyambar-nyambar bak hendak menerkam saja. Hatiku resah. Sesekali ku buka tabir jendela dan mengintip di baliknya. jam dinding rumah telah menunjukkan pukul 23.30, tapi suamiku belum pulang kerja, tak biasanya.
Tak lama, pintu rumah di ketok dari luar. Senyumku mengembang. Cepat-cepat pintu dibuka. Terlihat suamiku berdiri di depan pintu, langsung dipeluk dia, tak peduli pakaian suamiku basah terkena air hujan.
”Mas, kenapa pulangnya telat? HP nya juga nggak aktif?” Tanyaku sambil terisak.
”Baru pulang telat aja udah nangis gini, gimana kalo nggak pulang yaa??” Ledek suamiku sambil tersenyum dan mengelus kepalaku.
”yaudah kalo nggak mau diperhatiin” Balasku manja.
”Hehehe... maaf, Sayang. Tadi ada kerjaan mendadak. HP nya juga low bat. Jadi nggak bisa ngabarin.”
”Iyaa, tapi lain kali jangan gini lagi yaa. Kan bisa pinjem HP teman.”
”Iyaa.. Iyaa.. maaf ya. Sekarang senyum donk, masa suami pulang disambut manyun gitu.”
Aku tersenyum, kupeluk ia makin erat. Dia yang mampu mengimbangi sifatku yang manja. Perhatiannya selalu membuatku nyaman. Itulah sebagian hal yang membuatku memilihnya menjadi soulmate dalam perjalanan cinta ku.
Tapi kebahagiaan itu tersandung, tatkala dia melontarkan tanya yang tak pernah terpikirkan olehku pada suatu malam.
”De, bagaimana pendapat Iffah tentang poligami?”
Bagai disengat listrik, ketika dia menanyakan itu. Entah apa yang tersembunyi dibaliknya. Adakah dia akan melakukannya? Apakah suamiku akan poligami? Jika benar, apa yang melatarinya? Apa ada yang kurang dengan ku? Atau dia telah mencintai akhwat lain?
Ya Allah..
Segala pertanyaan itu menumpuk di otakku. Pikiranku jadi kacau tak karuan.
Tak langsung ku jawab, ”Maaf Mas, Iffah ngantuk. Kepalanya juga agak pusing. Iffah tidur duluan ya” Itu alibi ku untuk menghindar, padahal setelahnya aku tak dapat memejamkan mataku barang sedikit pun sampai pagi menjelang.

***

Pagi datang, udaranya begitu menyegarkan. Adzan subuh menggema memecah kesunyian, menandai aktivitas makhluk Allah untuk menyebar mengais riski-Nya. Perlahan ku bangunkan suamiku.
”Mas, shalat dulu yuk.” Ajak ku lembut sambil mencium keningnya. Perlahan dia membuka matanya dan tersenyum, kemudian segera beranjak menuju kamar mandi untuk wudhu. Ku pandangi dia sampai menghilang di balik dinding. Hati ku miris, hari ini dan hari-hari sebelumnya dia masih terus di sampingku, aku lah yang pertama melihatnya dan membangunkannya, tapi nanti ketika dia beristri lagi, kebahagiaan itu akan terbagi. Ku hela napas ku. Sanggupkah aku?
Ku shalat sendirian, Mas Dimas shalat berjama’ah di masjid. Selesai shalat, aku terisak. Sejujurnya aku tak sanggup. Ya Allah, apakah ini ujian terhadap cintaku pada-Mu? Terpaku antara sunnah-Mu dan keegoisan ku. Benarkah harus ku bagi cintaku untuk membuktikan cintaku pada-Mu? Allah.....
”Assalamualaikum” Salam Mas Dimas mengagetkan ku, dia telah pulang. Ku sapu air mataku, tak mau ku membuatnya resah karena melihat ku menangis. Ku bergegas menghampirinya dan mencium tangannya.
”Manisnya istriku hari ini” Rayunya. Aku hanya tersenyum.
”Masak apa, Mi?”, Umi adalah panggilan kesayangannya untukku.
”Gulai kakap kesukaan Mas” Jawab ku sambil menyiapkan sarapannya di meja makan.
”Wah, sedap nih. Pagi-pagi makan gulai kakap.” balasnya antusias. Aku hanya tersenyum sambil membubuhi nasi dan lauk-pauk ke piringnya. Setelah itu, dia pun makan dengan lahapnya. Selesai makan, dia melirik ku.
”Ehmm... kenapa yaa, bidadariku tak secerah mentari pagi ini? Lagian tumben juga nggak minta suapin?”
Aku tertawa, ”Iffah kan mau belajar dewasa dan nggak mau manja lagi sama Mas”
”Emang bisa??” tegasnya sambil melirik dengan senyuman yang selalu membuatku deg-degan.
”Kan mau belajar”
”iyaa deh, ampun aah.. udah mulai manyun lagi” balasnya sambil tertawa. Tak biasanya hanya ku tanggapi dengan senyuman, aku harus belajar jadi dewasa di hadapannya. Mungkin saja dia mau poligami karena tak betah dengan sifatku yang manja. Hhmmmm, aneh-aneh saja pikiran ku. Tapi siapa tahu?
”Mas suka Iffah apa adanya kok” Di peluknya diriku, sepertinya dia tahu kalo aku sedang ada masalah. aku terhenyak dengan kata-katanya. Kalo terima apa adanya, kenapa mau poligami, hati ku menggerutu. Astaghfirullah.
”Iffah sayang Mas melebihi rasa sayang Iffah terhadap diri Iffah sendiri” Guman ku hampir tak terdengar.
“iyaa, Mas tahu itu”
“Sekarang bilang sama Mas, Umi ada masalah apa?”
”Nggak ada apa-apa kok Mas, Iffah cuma takut kehilangan Mas” jawabku, jujur yang tersirat. Aku memang takut kehilangan mu mas, takut kehilangan penuh cinta mu.
”Hmmm... Ada apa ta? Ayoo, jujur sama Mas?”
”Iffah udah jujur. Nggak boleh ta Iffah takut kehilangan suami Iffah sendiri?”
”yaudah kalo nggak apa-apa. Mas berangkat kerja dulu yaa”
”Iyaa”
”Hati-hati di rumah. Jangan manyun lagi aah.” Pesannya sambil mengacak-acak rambut ku.
“Hehehe... iyaa..” “Mas hati-hati yaa”
”siph, Assalamualaikum Bidadariku”
”Wa’alaikumussalam”

** Bersambung **

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sadarlah Duhai MAkhluk Bernama Manusia

Dia hanya menggertak. Belum semarah Krakatau di masa lampau. Namun manusia telah luluh-lantak dibuatnya. Merapi, satu makhluk diantara ribuan milyar makhluk-Nya. Namun mampu membuat manusia tak berdaya dibuatnya. Air laut Mentawai menggeliat. Pesisir habis terkikis. Walau tak sehebat geliat saudaranya di negeri serambi mekah Namun tetap, manusia luluh-lantak dibuatnya. Tsunami, hanya riak kecil makhluk-Nya. Namun kembali manusia tanpa daya dibuatnya. Manusia, adakah kau mau memahaminya? Engkau hanyalah makhluk LEMAH tanpa daya. Namun kesombonganmu di atas takdirmu sebagai manusia. Berjalan mu membusungkan dada. Engkau lupa, bahwa engkau hanya makhluk hina yang akan kembali ke tanah. Sadarlah. Cukup sudah alam menunjukkan kebencian terhadap arogan mu. Cukup sudah alam muak dengan sikap mu. Saatnya kembali. Tugas mu hanya mengabdi bukan malah semakin menjadi-jadi. Ingat asal mu, ingat tempat kembali mu.

Cukup Ar-Rahman mu menjadi Mahar ku

Mengapa harus Ar-Rahman? Pikiran Ahmad melalang buana mencari kira-kira jawabannya. Ar-Rahman adalah syarat hapalan yang harus ia penuhi bila hendak melamar Aisha, seorang gadis anak salah satu ustad di desa ujung ibu kota. Itu permintaan Aisha. Begitu Ustad Amir, ayah Aisha, menerangkan. Bila memang Nak Ahmad berkenan, kini giliran ibu Aisha yang angkat bicara, datanglah lagi ke sini dua minggu lagi untuk menyetor hapalannya. Namun bila Nak Ahmad tidak datang kesini pada hari yang sudah ditentukan, maka kami anggap Nak Ahmad tidak menerimanya syarat itu. Ahmad hanya tersenyum gamang mendengar permintaan yang aneh menurutnya itu. Ada-ada saja keluarga ini. Gerutunya dalam hati. Setelah mengiyakan, ia pamit pulang. Rasanya tak betah lama-lama dalam suasana yang kaku seperti itu. Ahmad masih berpikir sambil menyetir mobilnya. Kendaraan roda empat berwarna silver itu melaju dengan kecepatan sedang. Menerobos rintik-rintik hujan yang kian menderas. Membawanya kembali ke gemerlapnya ibu ko...

Sepucuk Rindu untuk Ramadhan-Mu

Tak terasa dua puluh hari telah berlalu. Sangat cepat. Aku seperti ketinggalan kereta mengajar pesonamu. Kau seperti seorang putri yang diperebutkan berjuta pangeran tampan. Walaupun tetap tidak adil aku mengibaratkanmu seperti itu. Maafkan aku, karena aku tak mampu lagi mengibaratkan selain itu. Kau begitu indah. Begitu sempurna. Di saat kau datang, pintu-pintu neraka tertutup dan pintu-pintu syurga dibuka. Pahala menjadi berlipat ganda. Pengampunan tersebar luas. Mampukah aku beremu denganmu tahun depan? Itulah yang aku pikirkan ketika akan, sedang, dan telah bertemu denganmu. Kini, di sepuluh terakhirmu, kau tampak semakin indah. Apa karena pesona seribu bulan di satu malammu  yang kini masih misteri? Kau tahu? Semua orang sedang mengincarmu. Aah, kau pasti tahu itu. Ramadhan. Aku merindukanmu. Dan kan selalu merindukanmu.