
Tangan ibu keras menampar meja makan. Aku tertunduk. Aku tahu ibu sedang marah besar kepadaku.
”Ibu sudah bilang, ibu tak suka kamu pakai jilbab. Masih saja keras kepala. Mau jadi anak durhaka kamu?” Beliau mempertegas kata-katanya. Aku diam, menjawab sama saja memancing emosi Ibu semakin tinggi.
Ibu beranjak dari duduknya, mungkin suasana ruang makan itu seperti sauna yang panas, panas oleh amarah. Setelah ibu menghilang di balik dinding, aku menarik napas berat. Harus berapa lama lagi aku menunggu hati ibu luluh? Aku sudah sangat rindu memakainya. Hati ku gerimis, mata ku kembali basah.
Ini kali kedua aku meminta izin untuk mengenakan jilbab. Seperti yang pertama, jawaban Ibu tetap sama, tidak setuju. Aku tahu mengapa Ibu berkeras tidak mengizinkan ku. Jilbab itu kuno, pakaian ibu-ibu, begitu alasanya. Sedangkan ibu menginginkan ku tampil modis dan trendi.
Aku perlahan masuk ke kamar ku, sekilas ku lihat ibu telah tertidur di kamarnya. Ibu, aku sangat sayang pada mu. Aku tetap meminta izin walau sebenarnya itu hak ku karena rasa hormatku padamu. Tapi mengapa tak sedikit saja ibu mengerti keinginanku? Hati ku membatin pilu, hanya bisa membatin karena aku terlalu takut melukai hatinya jika aku mengatakannya.
***
Pagi menyapa, sinar jingga keemasan tersenyum ramah menyuntikkan semangat baru bagi semua makhluk-Nya. Namun sepertinya tidak untuk ku. Aku harus terpaksa kembali memakai seragam putih abu-abu ku, baju lengan pendek dan rok di bawah lutut. Kapan semua pakaian ini berganti dengan yang lebih syar’i? Entahlah, hanya Allah saja yang tahu.
”Bu, Diesta berangkat dulu yaa, Assalamu’alaikum.” Sapa ku memulai percakapan. Sejak kemarin kami tak saling berbicara. Aku lebih banyak diam dan mengurung diri di kamar. Aku ingin marah. Aku ingin berontak, tapi rasa patuh ku tetap tak pernah mengizinkan.
"Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang Ibu Bapanya, Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang Ibu Bapakmu, hanya kepada-Ku-lah kembalimu." (QS. Luqman : 14).
Allah mengingatkan ku dalam firman-Nya. Iyaa, beliau ibu ku, yang Beliau cela sungguh karena tiada pengetahuan tentangnya. Marah terhadapnya bukan hal yang patut. Hanya perlu bersabar sedikit lagi. Dan memohon pertolonga dari-Nya, karena tanpa-Nya sangat akan sia-sia.
”Iya, hati-hati. Wa’alaikum salam” Jawab ibu singkat. Aku tersenyum. Ku cium tangannya, khidmat.
Bismilllah, aku pun berangkat ke sekolah. Sekolah ku tak terlalu jauh dari rumah, hanya perlu berjalan sekitar 20 menit. Aku lebih suka berjalan kaki, sekalian olahraga, begitu pikir ku.
***
16.30 WIB.
Aku baru saja tiba di rumah. Aktivitas di sekolah ku memang sampai sore, pukul 16.00 WIB. Maklum sekolah ku memang sekolah terpavorit di kota tempat tinggal ku. Setelah sampai rumah, aku langsung ke kamar. Rasa penat menjalar ke seluruh tubuhku akibat hampir seharian beraktivitas di sekolah. Tiba-tiba pintu ku di ketok, belum sempat aku membukanya, ibu ku telah masuk ke kamar membawa pakaian bersih ku yang telah di setrika.
”Ibu, sini biar Diesta aja yang masukin ke lemarinya” Pinta ku lembut.
”Tidak usah, Diesta masih capek kan. Tiduran saja.” jawab Ibu lembut. Aku tersenyum. Ketika membuka lemari, Ibu terdiam sejenak. Hati ku bergelombang. Jangan-jangan ibu melihatnya. Ternyata benar.
”Ini baju siapa?” Selidik Ibu seraya mengeluarkan dua lembar gamis dari dalam lemari ku. Aku terdiam. Rasa takut ibu akan marah lagi kembali menghantui.
”Itu baju Diesta, Bu. Diesta beli sendiri pakai uang tabungan Diesta.” jawabku jujur.
“Bu, boleh yaa Diesta pakai jilbab.” Pinta ku, memohon. Kedua gamis itu Beliau masukkan kembali ke lemari. Sesaat setelah itu, Beliau ke luar kamar tanpa merespon. Aku menarik napas panjang. Gagal lagi, jerit hati ku. Allah masih mau mengajarkan sabar padaku. Aku berusaha tersenyum.
Malam ini, seluruh keluargaku berkumpul. Aku memijit ayah seraya menonton berita malam. Sedangkan Ibu menjahit baju ayah.
”Ayah, boleh yaa Diesta pake jilbab.” Kali ini aku membujuk ayah. Aku yakin, jika ayahku mengizinkan Ibu juga pasti akan mengizinkan. Ayah hanya berdehem. Entah apa maksudnya. Mendengar perkataan ku, Ibu menghentikan pekerjaannya. Beliau menatapku, tajam. Aku tertunduk. Tak berani beradu pandang dengan ibu.
”Benar-benar anak keras kepala. Yasudah kalo itu mau mu, terserah saja.” Akhirnya kata itu yang keluar. Aku refleks mengangkat kepala.
”Benar, Bu?” Tanyaku memastikan.
”Besok kita ke tukang jahit, menjahitkan seragam mu.” hanya itu jawab Ibu.
Mendengar jawaban Ibu, aku sontak berlari ke arahnya, segera memeluknya erat. Di tempurung kepala ku masih menggantung rasa penasaran. Kenapa Ibu tiba-tiba merubah pandangannya? Apakah karena telah bosan mendengar rengekan ku atau hatinya yang telah luluh. Entahlah. Yang pastinya aku senang. Alhamdulillah. Terima kasih Ya Allah.
***
Hari pertama mengenakan kerudung ke sekolah. Sungguh nikmat yang tiada tara. Rasanya baru kali ini, jingga keemasan sang mentari pagi menyuntikkan semangatnya pada ku. Kicau burung pun seakan menyatakan selamat atas bahagiaku pagi ini. Di sekolah, teman-teman ku telah menunggu.
”Selamat yaa Ta, akhirnya perjuangan mu gag sia-sia.” Begitu ucap sahabat terbaik ku. Aku tersenyum. Ku peluk dia.
”Terima kasih. Ini juga atas bantuan mu yang tak pernah lelah menyemangati ku.”
”Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah semata, Ta.” Balasnya lembut. Senyum ku kembali mengembang. Aku bersyukur memiliki sahabat seperti mu Zahra, hati ku membatin.
***
Siang itu aku duduk bersama ibu di ruang keluarga. Televisi sedang menyiarkan berita. Seorang yang dianggap teroris berhasil ditangkap. Begitu isinya.
”Hmm, lihatlah itu karena menganut aliran sesat.” Komentar ibu. Aku tersenyum. Ingin rasanya menanggapi komentar Ibu tentang seseorang yang di anggap terorist itu. Tapi, tanggapan ku akan mengancam kedudukan ku di majelis taklim. Beliau akan segera memberikan ultimatum untuk tidak mengizinkanku mengikuti pengajian lagi, karena beliau akan berprasangka aku mengikuti alisan sesat.
”Hanya Allah saja yang tahu Bu. Kita tak ada kuasa menghakimi seseorang” Akhirnya hanya itu jawab ku.
”Istrinya menggunakan cadar” kembali Ibu berkomentar.
”Hehe, kalo Diesta pake cadar gimana, Bu?” selidik ku nada bercanda.
“Awas saja. Ibu tidak akan menganggap mu anak lagi.” Suara Ibu mengeras, serius menanggapi pertanyaanku. Aku hanya tersenyum, pias.
Tamat
Komentar
Posting Komentar